online advertising

this is me

sebuah blog anak kos-kosan

Search This Blog

Saturday, 22 June 2013

Interelasi Islam dan Jawa dalam aspek Ekonomi



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Jawa secara umum dapat dikenal dalam artian suku jawa, bangsa jawa, atau orang-orang yang hidup di pulau jawa. Sejarah panjang kehidupan di jawa dapat kita lihat dari berbagai peninggalan kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di pulau jawa pada masa lampau. Puluhan kerajaan pernah berkuasa di tanah jawa, tiap kerajaan tersebut memiliki corak budaya, adat istiadat yang serupa. Dari sekian banyak kerajaan yang berkuasa di tanah jawa, yang memberikan corak adat istiadat hingga membekas sampai saat ini adalah kerajaan Mataram yang berkuasa di sekitaran Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Lebih spesifik lagi dari corak kerajaan Mataram yang masih bertahan hingga saat ini adalah budaya kejawen. Saat ini orang Jawa dan kejawen mungkin sudah sangat jarang orang yang melaksanakan budaya-budaya kejawen, hanya orang tertentu yang melestarikan budaya tersebut.
Pengetahuan budaya Jawa pada mahasiswa saat ini mengalami kelunturan, dimana banyak para mahasiswa tidak memperhatikan adat istiadat dan budaya jawa khususnya dalam bidang perekonomian. Perekonomian jawa sangat menarik, dimana masyarakat jawa tidak hanya mementingkan aspek menumpuk kekeyaan saja tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan, kemasyarakatan bahkan sastra.
Hal di atas melatarbelakangi penulis menyusun makalah ini guna memberikan pengetahuan tentang ekonomi Jawa secara umum dan hubungannya denganislam di tanah Jawa.
B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dirumuskan penulis adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kegiatan dan nilai-nilai serta sifat perekonomian Jawa ?
2.      Bagaimana keadaan perekonomian Jawa dari masa ke masa ?
3.      Apa hubungan antara kegiatan perekonomian di Jawa dengan nilai-nilai agama Islam ?

C.     Tujuan
1.      Mahasiswa mampu mengetahui nilai-nilai dan sifat kegiatan perkonomian di Jawa.
2.      Mahasiswa mampu mengatahui keadaan ekonomi di Jawa dari masa ke masa.
3.      Mahasiswa mampu mengetahui hubungan antara perekonomian Jawa dengan nilai-nilai agama Islam.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kegiatan ekonomi Jawa
1.      Kegiatan perekonomian Jawa di pedesaan
Dilihat dari geografi tempat tinggal orang-orang jawa, pulau jawa yang terdapat sangat banyak gunung vulkanik aktif yang pastinya tanah di sekitarnya sangat subur. Maka kebanyakan masyarakat jawa menggantungkan kehidupannya dari kegiatan pertanian. Pertanian tidak serta merta dilakukan oleh seluruh masyarakat jawa, tetapi sebagian lainnya juga bergerak di bidang perdagangan.
Pertanian dan perdagangan disebut mbakul dan macul dalam bahasa jawa. Mbakul lebih berarti ke kegiatan berdagang, jual beli di pasar dan melakukan kegiatan penjualan atau pembelian barang. Sedangkan macul, dalam bahasa Indonesia berarti mencangkul dapat diartikan sebagai kegiatan bertani/pertanian, mengolah lahan dan bercocok tanam. Kedua kegiatan ini bisa dikatakan sebagai soko guru perekonomian masyarakat jawa khususnya di pedesaan.
Mbakul (berdagang) dilakukan orang jawa dilihat dari hiruk pikuknya masyarakat dalam berusaha meraih nafkah rezeki di pagi hari. Pagi-pagi benar mereka sudah bangun tidur. Menurut keyakinan orang jawa rezeki seseorang akan diambil oleh ayam bila bangun tidur kesiangan. Para pedagang memulai paginya dengan harapan yang optimis.[1]
Kegiatan berdagang pada masyarakat jawa biasanya dilakukan oleh kaum perempuan yang biasa disebut mbok-mbok bakul (ibu-ibu pedagang). Mereka biasanya memperjualbelikan hasil bumi yang berupa beras, jagung, ubi-ubian, sayuran dan buah-buahan yang dijajakan di pasar untuk dipertemukan dengan konsumen. Tidak menutup kemungkinan para pedagang tersebut munjual barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya seperti peralatan dapur, peralatan masak dan lain-lain. Mereka berjalan menuju pasar dengan membawa barang dagangan itu dengan cara dipikul atau digendong.
Perdagangan pada masyarakat jawa berlangsung pada hari pasaran, yakni pon, wage, kliwon, legi dan pahing. Kegiatan berdagnag pada suatu pasar trdisional biasanya ditetapkan pada salah satu atau dua hari pasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Contohnya, pada suatu pasar tradisional kegiatan perdagangan akan sangat ramai pada hari pasaran pon dan legi saja, sedangkan pada hari pasaran yang lainnya kegiatan berdagang akan beralih pada pasar tradisional di daerah ynag lainnya. Sistem bakulan ini merupakan sokoguru perekonomian masyarakat jawa.
Macul(mencangkul) diartikan sebagai kegiatan pertanian di kehidupan masyarakat jawa. Pertanian di pulau jawa sangat subur hal ini diakibatkan dari banyakny gunung berapi yang berada di pulau jawa. Kegiatan pertanian dilakuan oleh masyarakat di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Pada masyarakat dataran rendah biasanya melakukan pertanian dengan mengolah sawah basah yang ditanami palawija atau padi, sedangkan pada dataran tinggi lebih sering mengolah ladang dengan ditanami sayur mayur atau buah-buahan, ada pula yang menanam palawija tapi tidak sebanyak yang ada di dataran rendah.
Dalam masyarakat jawa yang masih melestarikan adat kejawen, meraka dalam melakukan kegiatan pertanian sebagai contoh ketika pada saat akan melakukan penanaman bibit bawang mereka masih akan mencari hari baik untuk menanam. Sebaliknya pada saat akan memanen juga seperti itu mereka akan mencari hari baik untuk panen agar mendapat hasil yang maksimal.
Para petani jawa adalah pekerja yang ulet. Mereka sambil mengolah lahan pertaniannya juga menyabit rumput untuk pakan ternak mereka. Seolah-olah rumput tersebut adalah oleh-oleh untuk raja kaya mereka yang menunggu di rumah. Hewan ternak mereka tidak dijadikan sebagai sumber pendapatan utama tetapi lebih dijadikan sebagai cadangan harta yang tiap saat bisa dijual bila diperlukan.
Ciri-ciri kegiatan perekonomian masyarakat jawa khususnya di desa:
1)      Menjunjung kebersamaan
Hal ini diwujudkan dalam bentuk kerja bakti, gotong royong, sambatan, jagongan dan rewang. Tanpa diundang apabila ada tetangga punya hajat, tetangga yang lain bersedia dan siap membantu.
2)      Suka kemitraan
Orang jawa beranggapan bahwa siapa saja yang datang dianggap sebagai saudara. Bahkan mereka memiliki anggaran khusus untuk menjamu tamu.
3)      Mementingkan kesopanan
Etika kesopanan orang jawa terwujud dalm istilah unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basu krama, suba sita dan sopan santun. Hal ini diutamakan agar orang dapt diterima dalam pergaulan sosial secara wajar. Orang jawa cenderung menggunakan bahasa yang halus bila berhadapan dengan orang yang dihormati.
4)      Ahli musim
Mereka mengerti sekali soal pergantian musim terutama berkaitan dengan masa tanam, dan masa panen(musim hujan, kemarau, labuh,mareng)
5)      Pertimbangan religius
Sebagai contoh, pada saat hajatan penting pasti dicarikan hari pasaran yang baik. Bahkan ada upacara tradisional yang berhubungan dengan sistem kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
6)      Toleransi tinggi
Kejadian diluar dirinya dibiarkan saja berjalan secara alami. Orang mudah untuk memaafkan kesalahan pihak lain, bahkan ada kecenderungan menutupinya.
7)      Hormat pada pemimpin
Hormat pada pemimpin dilakukan sebagai kewajiban agar mendapat berkah ketentraman karena keselarasan hidup dapat diperoleh hanya dengan berlaku harmonis dengan lingkungan dan pamong raja.
8)      Hidup pasrah
Mereka tidak mununtut macam-macam kepada pemerintah. Bila keamanan dan ketentraman sudah didapatkan mereka tidak akan menuntut lebih.
9)      Cinta seni
Orang jawa mudah mengendalikan emosinya karena cinta pada seni halus. Contoh dari seni tersebut adalah kethoprak dan wayang kulit(wayang purwa).
10)  Dekat alam
Masyarakat jawa yang mata pencaharaiannya bertani atau bercocok tanam, yang selalu berkaitan dengan tanah. Banyak upacara tradisional orang jawa yang bertujuan untuk menghormati tanah. Contohnya upacara babak bumi.[2]
2.      Filosofi Gotong-Royong Gugur Gunung
Gugur Gunung
Ayo Kanca ayo kanca ngayahi karyaning praja
Kono-kene kono kene gugur gunung tandang gawe
Sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane
Lila lan legawa kanggo mulyaning negara

Siji loro telu papat bareng haju papat-papat
Diulang-ulungake murih enggal rampunge
Holopis kuntul baris holopis kuntul baris
Holopis kuntul baris holopis kuntul baris
Jenang artinya bubur atau makanan. Arti kiasnya adalah bahwa orang yang memiliki jeneng ‘nama’ yang kokoh secara otomatis ia akan mendapat jenang ‘nafkah’. Jeneng harus didahulukan daripada jenang. Jangan sebaliknya minta jenang dahulu. Nanti menimbulkan kecemburuan dan kecurigaan.kalau jeneng didapat, tidak usah minta-minta, jenang akan datang dengan sendirinya.boleh jadi jeng itu diperoleh dalam jumlah yang berlipat-lipat dari yang diharapkan. Prinsip ini seharusnya dipegang oleh kaum profesional yang benar-benar menekuni pekerjaan atau usahanya.
Jeneng artinya nama. Orang yang kondang artinya orang yang memiliki nama baik dan integritas yang diakui. Istilah Jawanya adalah kondang kaonang, kaloka, kaewentar, kuncara, kaceluk atau tenar. Namun baik dan harum seseorang diperoleh melelui perjuangan yang gigih. Apalagi kalau perjuangannya itu demi kepentingan orang banyak. Massa akan mengingat jasa-jasanya meskipun dia sudah tiada. Contohnya adalah nama besar Ki Hajar Dewantara, Cokroaminoto, Soekarno, Ahmad Dahlan dan lain sebagainya. Mereka memiliki jeneng yang sugeng atau langgeng. Keabadian namanya memeng sudah layak dengan perjuangan. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak menikmati jerih payahnya.
Guyub berarti perasaan suka rela untuk menggabungkan diri sehigga dicapai sebuah kekompaka dalam melakuka aktifitas kerja. Contohya orag yag puya hajayt dipedusus, maka para tetangga dan arib erabatnya akan dengan suka rela memebantu tanpa megharapkan imbaan apapun.
Rukun adalah kesatuan perasaan antar individu dalam melaksanakan sebuah visi bersama dengan menyingkirkan segala jenis pertengkaran dan pertentangan. Dalam bahasa rukun kuwi angedohi padu do n rukun itu menunjukkan pertenhkaran.
Sayuk adalah tekad menunggalnya perasaan antar individu atau kelompok dalam meuntaskan kejasama.biasanya digunakan dengan kata rukun. Dalam tembang Jawa ada ngkapan sayuk-sayyk rukun bebarengan sakancane ‘manuggal rukun bersama dengan teman-temannya.
Gotong royong adalah kerja soial yang besar dan berat tetapi terasa ringan dan riang karena ditangani orang banyak secara ramai-ramai. Masing-masing arga masyarakat terlibat sesuai dengan profesi dan kemampuanya.
Gugur gunung mempunyai makna kerja sosial yang harus dilakukan secara bersamasama untuk menyelesaikan kerja yang mahaberat seolah olah separti meruntuhkan gunung. Menelik namanya, gugur gunung berarti  menghancurkan gunung. Istilah gugur gunung memberi inspirasi dan spirit kepada orang banyak agar tidak silau terhadap pekerjaan yang sangat berat. Seperti ungkapan : berat sama dipiku ringan sama dijinjing.
Mituhu artinya berakti, menurut, menpercayai dan meyakini ajaran orang tua atau guru. Murid dan anak yang baik tentu akan mituhu kepada orang tua dan gurunya. Orang yang mau mituhu terhadap ajaran leuhur hidupnya beruntung. Murid yang mituhu akan cepat meresapkan ilmu pengetahuan diotaknya. Dengan pelan pelan dan tertib ilmu yang diperoleh dari guru diterima dengan baik. Sedikit demi sedikit ilmu akan berkumpul menjadi banyak.
Lama lama tanpa ada beban, orang yang mau mituhu itu menjadi menonjol. Kecakapanya diakui oleh orang lain. Masyarakat menggunakan kecakapannya dan keterampilannya sehingga dia menjadi orang yang bermanfaat.
Mitayani berarti dapat dipercaya karena mampumenyelesaikan pekerjaan. Segala bentuk pikiran, ucapan dan perbuatan dapat dipercaya oleh orang lain. Apa yang diperbuat senantiasa dianggap benar dan dipercayai oleh orang lain. Supaya orang mendapat gelar mitayani, dia harus bersih, jujur, dan bebas dari kesalahan yang fatal. Sekali berkhianat terhadap perilakunya, saat itu juga kepercayaan orang akan buyar.[3]
3.      Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Semua orang harus bersikap mikul dhuwur. Mikul dhuwur artinya memikul tinggi-tinggi. Arti etimologisnya bahwa seorang anak berkewajiban mengharumkan nama Ayah dan Ibu serta martabat keluarga.
Mendhem bukan berarti mabuk seperti mendem kecubung, tetapi berarti mengubur. Jero artinya dalam. Mendhem jero maknanya mengubur dalam-dalam keburukan dan kekurangan orng tua, aib keluarga dan kelemahan masyarakat. Sedapat-dapatya aak atau warga negara harus menutupi apa yang menjadi rahasia keluarga dan masyarakat.
Prinsip  mendhem jero sangat mulia bila diterapkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bernagara. Keterangan diatas sesuai dengan idiom kearifan lokal sebagaimana yag telah diuraikan oleh Siti Hardiyanti (1991) sebagai berikut :
Sing sapa mung arep oleh wae, nanging emoh kangelen, iku aran wong kesed, iku kabeh aja ditiru, jalaran kulawarga lan bangsa uga rugi.
Barang siapa hanya ingin enaknya saja, tapi tidak suka kerja, itu orang yang malas, itu semua jangan ditiru, sebab keluarga dan bangsa juga rugi.
Kudu angon wektu.
Harus memperhatikan waktu.
Tumindak aja nganti getun mburine.
Berbuat sesuatu jangan sampai kecewa dibelakang hari.
Gawe rusak. Ora becik. Dene gawe rusaking mungsuh dudu barang kang aneh.
Membuat rusak itu tidak baik. Sedang membuat susah musuh itu bukan hal yang aneh.
Mungsuh sing wis nungkul aja dipateni.
Musuh yang sudah menyerah jangn adibunuh.
Sing sapa arep menange dhewe, kuwi nemahi cilaka.
Barang siapa ingin menang sendiri, itu akan celaka.
Sing sapa gelem mbuang ilmu karang bakal namoni kabacikan.
Barang siapa berani membuang ilmu karang akan menemui kebahagiaan.
Sing sapa mung arep gawe seriking liyan, kuwi uga arep nemahi cilaka.
Barang siapa yang akan membuat sakit hati orang lain, itu juga akan celaka.
Sing sapa seneng udur, iku bakal kena bebendu dening Pangeran.
Barang siapa suka bertengkar, aka kena amarah Tuhan.
Sing sapa seneng gawe nelangsaning liyan, ikuning tembe bakal kena piwales saka penggaweane dhewe.
Barang siapa gemar membuat sengsara orang lain, akhirnyaia akan mendapatkan pembalasan dari perbuatannya sendiri.
Angrembuga kang perlu kawala.
Berbicaralah yang perlu-perlu saja.
Wani ngalah luhur wekasane.
Barang siapa berani mengalah akhirnya kan mendapatkan keluhuran.
Goleka kanca sing padha tujuane.
Carilah teman yang tujuannya sama.
Kebangsaan / Nationhood
Bangsa iku minangka sarana kuwating negara, mula aja ngliwarake kebangsanira pribadi, supaya kanugerhan bangsa kang handana warih.
Bangsa itu sebagai sarana kuatnya negara, oleh karena itu jangan mengabaikan rasa kebangsaanmu sendiri, agar memiliki bangsa yang berjiwa kesatria.
Negara iku ora guna lamun ora darbe anger-anger mingaka pikukuhing negara kang adhedhasar idi kalbune manungsa salumhing negara kuwi.
Negara itu akan berguna kalau tidak mempunyai undang-undang yang menjadi dasar kuatnya suatu negara, yang sersuai dengan isi jiwa seluruh bangsa itu.
Para muda aja ngungkurake kawruh kang nyata, amrih karya ungguling bangsa lan bisa gawe raheyuning sasama.
Para pemuda jangan mengabaikan ilmu pengetahuan yang nyata, agar  negaranya menjadi masyur dan dapat membuat keselamatan sesamanya.
Panguasa iku kudu gawe teterem para kawulane, marga yen ora mengkono bisa dadi kawulane ngrebut negara.
Penguasa itu harus membuat tenteram rakyatnya, kalau tidak dapat terjadi rakyatnya akan merebut kekuasaan dalam negara.
Negara kuwat iku amarga kawulane seneng urip lan disuyudi dening liyan negara.
Negara itu kuat kalau rakyatnya senang hidup dan dihormati oleh negara lain.
Aja lali marang kebecikaning.
Jangan lupa akan kebaikan orang lain.
Aja siras deksura, ngaku luwih pinter tinimbang sejene.
Janganlah congkak, merasa lebih pandai dari yang lain.
Aja rumangsa beer dhewe, jalaran ing ndonya iki ora ana sing bener dhewe.
Jangan merasa engkau yang paling benar, sebab didunia ini tidak ada yang paling benar.
Aja tansah gelaning liyan, iku perasasat gawe galaning awake dhewe.
Jangan selalu membuat kecewa orang lain, sebab membuat kecewa orang lain itu akan membuat kecewa diri sendiri.
Aja gawe sirik atining liyan.
Jangan menyakiti hati orang lain.
Aja golek mungsuh.
Jangan mencari musuh.[4]
4.      Pandangan Jawa Terhadap Dunia Usaha
Memang sulit untuk dibantah bahwa budaya jawa khususnya di daerah yang sering disebut subkultur Nagaragung atau subkultur budaya kraton yang kurang lebih meliputi kerja Pembantu Gubernur Surakarta dan sekitarnya itu cenderung kurang menghargai dunia usaha atau perdagangan. Berbisnis dalam arti berdagang atau usaha itu merupakan pantangan bagi nenek moyang, orang dulu lebih suka melihat anaknya menjadi seorang pegawai negeri atau jaman dulu lebih disebut “priyayi”. Anak remaja jaman dulu sering dikekudang (didoakan dan diharapkan) oleh orang tuanya agar kelak kalau sudah besar menjadi priyayi. Kekudangan seperti ini merupakan dambaan setiap para orang tua jaman dahulu. Menjadi priyayi merupakan harapan paling utama bagi orang Jawa pada masa itu. Posisi priyayi jelas dipandang lebih terhormat ketimbang pedagang.
Seperti dalam kisah Andhe-andhe Lumut, dimana Nyi Randha Tatali (ibu angkat Andhe-andhe Lumut) yang hanyalah orang kecil (wong cilik) yang berharap terhadap anak angkatnya itu agar kelak dapat beristri pedagang kaya, seperti pedagang emas atau pedagang beras misalnya. Sokur-sokur dapat beristri anak priyayi. Suatu keberuntungan yang luar biasa bila yang terakhir itu terjadi. Wajarlah kalu ia amat masgul melihat anaknya tampak tepesona dan jatuh cinta terhada Klenting Kuning yang kumal seperti pengemis (dalam penyamarannya) padahal Andhe-andhe Lumut baru saja menolak lamaran tiga putri cantik yaitu Klenting Biru, Klenting Wungu, Klenting Dhadhu. Dari cerita singkat diatas dapat digambarkan bahwa tentang adanya strata atau lapisan masyarakat Jawa, yaitu wong cilik, bakul  (pedagang) dan priyayi. Seperti yang tampak dalam bait Dhandhang-gula di bawah ini:
Ya ya Nyi randha Tatali
nyawang putra kang esmu kasmaran
rongeh goreh sasolahe
batin tansah anjetung
dene boya bisa nocoki
rina wengi kinudang
derbe bojo bakul
wade emas dagang beras
sokur bage antuka anak priyayi
mulya sakulawarga

Terjemahannya:
Syahdan Nyi Randha Tatali
melihat anaknya yang jatuh cinta (kepada Klenting Kuning yang menyamar bak pengemis)
rerlihat sikapnya yang tak tenang
hati (Nyi Randha) menjadi masgul
karena tidak setuju (terhadap sikap anaknya)
anak yang diharap siang malam
agar kelak beristri bakul (pedagang)
dagang emas ataupun  dagang beras
sokur-sokur beristri anak priyayi
yang membahagiakan seluruh keluarga.[5]
Selain dalam bait tembang Dhandhang-gula tersebut Marbangun Hardjowirogo juga mengambil sampel masyarakat Surakarta sebagai berikut:
Kalau hubungan perkawinan antara seorang ndoro dengan seorang wong cilik dalam banyak hal bisa berjalan harmonis oleh karena pihak dari wong cilik kalah atau mengalah, kurang bisa selaras hubungan perkawinan antara seorang saudagar dengan seorang priyayi. Dimana seorang priyayi biasanya membanggakan kedudukannya, misalnya sebagai penewu atau mantri dan besar kecilnya memandang rendah terhadap saudagar yang menurut pendapatanya biasanya hanya numpuk banda, menghimpun harta, sebabaliknya seorang saudagarpun tahu, bahwa kebanyakan priyayi hanya ingin njagapraja, menjaga gengsi, biasanya tak kaya, bahkan melarat, juga kurang bisa menghargai uang umumnya cuma sok, selagi dalam kenyataan kosong kantongnya. Itulah sebabnya mungkin mengapa seorang priyayi  yang kawin dengan seorang saudagar atau anak saudagar kaya, dikatakan bahwa dia golek bokong, cari harta untuk bisa menegakkan status priyayinya yang banyak makan biaya.
Pandangan jawa yang merendahkan profesi dagang atau bisnis itu antara lain bersumber pada Serat Wulangreh karya Sri Paku Buwana IV, yang merupakan acuan etika yang cukup berpengaruh bagi masyarakat Jawa sampai saat ini, disamping itu juga ada Wedhatama karya Mangkunegaran IV. Selain kedua acuan moral yang penting ini ada juga Serat Jayengbaya yang oleh beberapa pakar dianggap pendukung dunia usaha. Dan ada satu acuan lagi yaitu, Serat Pitutur Jati Mawi Sekar, acuan yang terakhir ini memang kurang dikenal oleh masyarakat.
1)      Serat Wulangreh
            Serat Wulangreh ini adalah acuan Jawa yang paling tegas mengencam dunia usaha. Ada beberapa versi Serat Wulangreh. Versi yang paling umum terdiri dari 13 pupuh, yaitu:
Dhandhang-gula (8 pada atau bait)
Kinanthi (16 bait)
Gambuh (17 bait)
Pangkur (17 bait)
Maskumambang (34 bait)
Megatruh atau Dudukwuluh (17 bait)
Durma (12 bait)
Wirangrong (27 bait)
Pucung (23 bait)
Mijil (26 bait)
Asmaradana (28 bait)
Sinom (33 bait)
Girisa (25 bait)
Dalam salah satu versi yaitu yang berjudul Wulangreh ( tanpa kata Serat) yang memuat penjelasaan “Mturut babon asli kagungan – dalem Nyai Adipati Sedhahmirah”, pupuh Wirangrong yang terdiri dari 27 bait itu digubah kembali dalam pupuh Pucungyang terdiri dari 35 bait. Dengan demikian ada dua pupuh pucung, yaitu pucung baru dengan 35 bait yang disusul Pucung lama yang terdiri dari 27 bait tersebut.
Wirangrong:
Ana cacat agung malih
anglangkungi saking awon
apan sakawan iku kehipun
dhingin wong madati
pindho wong ngabotohan
kaping tiga wong durjana.
Kaping sakawane ugi
wong ati saudagar awon
mapan suka sugih watekipun
ing rina lan wengi
mung bathine den etang
alumuh lamun kalonga.
Iya umpamane ugi
dhuwe dhuwit pitung bagor
mapan nora marem ing tyasipun
ilanga sadhuwit
gegetun patang warsa
padha yen ilang saleksa.
Wong ati saudagar ugi
sabarang prakara tamboh
among yen ana wong teka ikuanggegawe ugi
geadhen pan tumranggal
ulate teka sumringah.
Terjemahannya:
Ada cacat besar lagi
sungguh melebihi buruk
jumlahnya ada empat
pertama orang madat
kedua orang berjudi
ketiga orang mencuri.
Adapun cacat keempat
orang berjiwa saudagar jelek
wataknya hanya ingin kaya
siang maupun malam
kerjanya menghitung laba
takut berkurang sedikitpun.

Demikian seandainya
Punya uang tujuh karung
itu pun belum puas
andaikan hilang sepeser
empat tahun menyesalnya
seperti hilang saleksa.

Orang berhati saudagar
enggan dalm berbuat baik
kecuali kalau ada yang datang
dengan barang bawaan
untuk digadai ia semangat
roman mukannya ceria.
            Pucung:
Lawan ana cacad ingkang luwih agung
pan patang prakara
ingkang dhingin wong madati
pindho butuh ping telune wong durjana.
Kaping pate wong budi saudagar tamboh
sabarang prakara
mung mungkul saka lan sugih
rina wingi mung bathine kang den etang.
Lumuh kalung tur wus nyekel reyal satus
kalungo sareyal
gegetune sangang sasi
durung marem yen durung simpen salaksa.
Mung sakane yen ana dhedhayoh muncul
nggawa gadhen emas
anenembung utang dhuwit
sumaragal ulate teka sumringah.
Terjemahannya:
Dan adalah cacat yang amat besar
empatlah jumlahnya
yang pertama orang madat
dua judi ketiga itu pencuri.
Yang keempat orang barhati saudagar
segala urusan tak peduli
hanya ingin kaya dan senang sendiri
sing malam kerjanya menghitung laba.
Tak suka berkurang meski telah punya seratus reyal
andaikan hilang sereyal
empat bulan ia menyesal
belum puas bila belum punya seleksa.
Suka ria kalu muncul tamu khusus
bawa barang emas
merengek meminjam uang
sikap ramah mukanya terlihat cerah.
Kesimpulan yang dapat diambil dari Wulangreh diatas adalah bahwa ia tidak menghargai ati saudagar atau jiwa dagang. Bahkan memandangnya sebagai cacat; salah satu dari 4 cacat di samping judi, madat dan mencuri. Tentu ini adalah termasuk titik lemah dalam budaya jawa yang dampak negatifnya masih terasa sampai saat ini, terutama dilingkungan budaya Nagaragung atau lingkungan budaya kejawen.[6]
2)      Wedhatama
            Berbeda dengan Wulangreh, wedhatama tidak memuat kecaman terhadap dunia usaha atau profesi dagang (saudagar). Seperti halnya Wulangreh, wedhatama yang diakui umum sebagai karya Mangkunegara IV ini pun ada beberapa versi. Versi yang terbagi dalam 5 pupuh, yaitu:
Pangkur (14 bait)
Sinom (18 bait)
Pucung (35 bait)
Kinanthi (18 bait)
Bagian yang agak jelas menyinggung masalah pencaharian hidup terdapat pada pupuh Sinom, yaitu dalam 5 bait di bawah ini:
Nanging enak ngupo boga
rehne ta tinitah langip
apa ta suwiteng Nata
tani tanapi agrami
mangkono munggah mami
padunr wong dahat cubluk
durung weruh cara Arab
jawaku wae tan ngenting
paradane mulang putra.
Saking duk masih taruna
sadhela wwus anglakoni
aberag marang agama
maguru anggering kaji
sawadine tyas mami
banget wedine ing besuk
pranatan ngakir jaman
yan tutug kaselak ngabdi
nora kober sembahyang gya tinimbalan.
Marang ingkang asung pangan
yen kesuwen den dukani
abubrah bawur tyasingwang
lir kiyamat saben hari
bot Allah ape gusti
tambuh-tambuh solahingsun
lawas-lawas nggrahita
rehne ta suta priyayi
yen mamriha dadi kaum temah nistha.
Tuwin ketib suragama
pan isung nora winaris
angurbaya ngantepana
pranatan wajibing urip
lampahan angleluri
lluraning pra leluhur
kuna kumunanira
kongsi tumeking samangkin
kikisane tan lyan amung angupaboga.
Bonggan kang tan merlokena
mungguh ugering ngaurip
uripe lan tri perkara
wirya arta tri winasis
kalamun kongsi sepi
saka wilangan tetelu
telas tilasing jalma
temah papa papariman ngulandara.
Terjemahanya:
Lebih enak mencari nafkah
Karena kita makhluk lemah
Bisa mengabdi raja
Bisa tani atau berdagang
Demikian menurut saya
Dengan segala kebodohan saya
Belum bisa bahasa Arab
Bahasa Jawa pun tak sempurna
Namun terpaksa mendidik anak.

Karena pada waktu masih muda
Sudah menjalani sebentar
Rajin belajar agama
Berguru kepada haji
Sebenarnya karena hati saya
Amat takut keadaan kelak
Ketentuan di akhir jaman
Belum selesai (belajar agama) keburu mengabdi
Belum sempat sembahyang telah dipanggil

Dipanggil oleh yang memberi makan
Kalau terlambat kena marah
Hati bingung tak keruan
Bak kiamat tiap hari
Patuh pada Tuhan atau majikan
Sikapku serba tak menentu
Lama-lama terpikir
Karena saya anak priyayi
Kalau mengejar jadi modin tak pantas

Jadi khotib dan ulama
Aku tidak punya bakat
Mendingan menekuni
Kewajiban orang hidup
Menyimak dan mencontoh
Sejarah para leluhur
Dari jaman dahulu kala
Sampai jaman sekarang ini
Kesimpulannya tak lain dari mencari nafkah.

Bodoh yang mengabdikan ini
Adapun ugeran hidup
Bertumpu pada tiga hal
Kedudukan, kekayaan dan kepandaian
Jika semua tidak punya
Ketiga hal itu tidak ada
Hilang martabat kemanusiaan
Tak berharga sama sekali
Akhirnya jadi pengemis yang mengembara
            Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan profesi dagang Wedhatama lebih maju daripada Wulangreh. Wedhatama tidak memandang saudagar itu sebagai suatu profesi yang hina. Sebaliknya, dengan menunjuk pada tiga penopang martabat manusia : Wirya (kedudukan), harta (kekayaan) dan winasis (kepandaian), berarti dagang dipandang sebagai profesi yang terhornat juga.
            Akan tetapi karena kedudukan Paku Buwana itu lebih tinggi daripada Mangkunegara, maka dampak ajaran Wulangreh yang mengecam dunia usaha itu tetap terasa sampai saat ini.[7]

3)      Serat Jayengbaya
Serta jayengbaya disoroti karena dalam Simposium “ Perilaku Bisnis”sedikitnya ada dua pembicara yang menyiggungya,yaitu Darmanto Jatman dan Karkono K.Partokusumo.Lebih-lebih karena Darmanto Jatman hanya mengutip sepotong kecil terjemahan yang menjujung atau menyanjung kaum pedagang tentu akan menimbulkan salah paham tentang pedagang Serat Jayengbaya terhadap dunia pedagang.
Ada dua naskah Serat Jayengbaya yang sempat dipelajari (menurut L.Mardiwarsita sedikitnya ada 4 naskah ),yaitu Serat Jayengbaya Mardiwarsita yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980)dan Serat Jayengbaya huruf jawa yang diterbitkan oleh Uitgeverij en Boekhandel Stoomdrukkerij ‘De Bliksem”Solo.1928.
Menurut kesimpulan dibuku yang berisi 250 bait tentang Asmaradana ini tidak memberikan kesimpulan akhir bahwa yang paling baik atau pun paling enak itu menjadi pedagang.Buku ini menceritakan khayalan Ki Jayengbaya tentang berbagai pekerjaan atau kedudukan atau pun pengalaman,yaitu sebagai berikut :
a)       blantik jaran (pedagang kuda)
b)       niyaga (penabuh gamelan)
c)       penari topeng
d)      dhalang wayang purwa
e)       penjudi(botoh)
f)        penjual (candu)
g)       penjahit (graji)
h)       congkok (mak comblang)
i)         pokrul
j)         pencuri
k)       jaksa
l)         pegawai/pembantu belanda
m)     batur tlendhek (pembantu tandak )
n)       orang gila
Dan sebagainya,seluruhnya ada 47 pekerjaan atau keadaan yang dikhayalkan oleh Ki Jayengbaya .Sampai-sampai ia menghayalkan suka dukaya menjadi algojo (singanagara),menjadipengemis,menjadi anjing ,menjadi orang yang disambar petir dan bahkan menjadi tuhan.Tidak ada pilihan yang dikhayalkannya itu yang enak mutlak.
Seluruh pilihan yang dijumlah 47 macam (sesungguhnya 48,karena pilihan no.17 sebenarnya berisi dua pilihan )diuraikan atau dikhayalkan dengan cara yang sama.Semua dikhayalkan sebagai yang paling didambakan dengan segala keenakannya.Kemudian terbayanglah segi-segi tidak enaknya sehinga akhirnya ditolak dengan tegas dan tetaplah ia pada keadaannya smula sebagai pilihan akhir.
Pesan Ronggowarsita yang dapat ditangkap melalui Serat Jayengbaya ini adalah bahwa setiap keadaan,setiap profesi dan setiap alternatif dalam hidup ini selalu mempunyai segi-seginya yang baik dan yang buruk,yang enak dan yang tidak enak,yang positif dan yang negatif.Tidak ada yang mutlak.Oleh karenanya ,jalani saya hidup ini dengan apa adanya! Itulah pesan Jayengbaya.[8]
           
4)       Serat Pitutur Jati
            Menurut penulis  pustaka jawa yang menghargai profesi dagang adalah Serat Pitutur Jati (SPT).Bahkan SPT dengan tegas meletakkan profesi degang itu diatas priyayi.Keutamaan pekerjaan menurut SPT berturut-turut adalah:
a)      Dagang
b)      Priyayi
c)      Petani
d)     Kemasan (tukang mas),greji(penjahit),pandhe(tukang besi),undagi(tukang kayu),bakulan( pedagang kelontong),candhak-kulak(menjualakn barang orang lain).
            Naskah ini jelas sekali bersumber dari ajaran islam dan hanya sedikit saja warna ajaran kejawen i dalamnya.ini adalah wjar naskah ini bukan gubahan pujagga Surakarta atau penulis lain dari wilayah negaragung,melainkan dari lapisan yang diluarnya,yaitu daerah kediri yang dalam sistem trimandala praja termaksuk mandala (daerah) mancanegara.Hal ini terlhat dari keterangan pada sampul buku yang menyatakan bahwa:
Babon asli saking sewargi Kanjeng Pangeran Harya Purbanegara
Bupati Wadana Mancanagara Kediri.Serat punika amitedahaken          patra tindakipun manungsa gesang wonten ing ndunya, miturut dhawuh wawarahipun Kanjeng Nabi Muhammad,Kanjeng Susuhan Bonang ,tuwin Sri Bathara Wisnu dhateng para sakabatipun.
(sumber asli dari mendiang  Kanjeng Pangeran Harya Purbanagara,Bupati Wadana Mancanagara Kediri.Buku ini menjelaskan sikap dan cara orang hidup menurut ajaran Nabi Muhammad,Sunan Bonang dan Bathara Wisnu kepada para sahabatnya ).
           
            Bahwa orang hidupitu harus bekerja mencari nafkah dan bahwa berdagang lebih dihargai ketimbang priyayi,ini jelas terbukti dari enam bat tembang Kinanthi sebagai berikut:
(1)        Manungsa urip puniku
            Wajib padha angupadi
            Sandhang pangan asarana
            Nambut sabarang prakerti
            Karya iku rupa-rupa
            Endi ingkang den senengi
(2)        Sagaduging budipun
            Miwah kacanggahaning ati
            Winawrat kuwating badan
            Kasar alusing pakarti
            Yen wes kaconggah den gita
            Nanggapi karya kang becik
(3)        pakaryan dunya puniku
            Akathah tur warni-warni
            Dhinging anggota dagang
            Kading ing wong ngatas –angin
            Turki mesir bahdad ngarab
            Kathah bangon lampah grami
(4)        karna nabi panutup
            Muhammad rasulullahi
            Saderengira diwasa
            Asring kang salampah grami
            Dhateng ing nagari ngesam
            Sinudarsana ing dasih
(5)        nggaota dagang puniku
            Kinarya unggul pribadi
            Yen panuju tindakira
            Antuk rahmating hyang wedhi
            Babathene ewon leksan
            Enggal dadya sugih singgih
(6)        ingkang kaping kalihipun
            Anggayuh drajad priyayi
            Asuwita ng narendra
            Miwah kumpeni walandi
            Asuwita liyanira
            Sakaconggahe kang dhiri
            Terjemahan:
(1)        orang hidup itu
            Wajib selalu berupaya
            Mencari sandang- pangan(nafkah)
            Dengan bekrja apa saja
            Yang macam-macam jenisnya
            Pilih yang disenangi masing-masing
(2)        sesuai dengan kemampuan
            Dan kecocokan hati
            Diukur kekuatan jasmani
            Dilihat haus-kasarnya
            Kalau sudah terasa cocok
            Segera dilaksanakan
(3)        pekerjaan didunia itu
            Banyak dan beraneka ragam
            Yang pertama adalah berdagang
            Seperti orang luar negeri
            Turki,mesir,bahdad,arabia
            Banyak yang gemar berdagang
(4)        karena nabi penutup
            Muhammad rosulullah
            Sebelum mengginjak dewasa
            Pun sudah sering berdagang
            Melewati kenegeri ngesam
            Dipuji semua orang
(5)        bekerja sebagai pedagang itu
            Adalah yang paling utama
            Kalau lagi untung dibadan
            Dan mendapat rahmad tuhan
            Puuhan ribu untungnya
            Cepat karya dan makmur
(6)        tingkat kedua adalah
            Mencoba ajdi priyayi
            Mengabdi raja
            Atau menggabdi belanda
            Juga menggabdi lainnya
            Sesuai keadaan masing-masng
            Meskipu naskah (bertulisan jawa ) ni dicetak disurakarta,yaitu oleh Penerbit N.V.Budi Utama tahun  1918, tetapi jelas bahasanya tidak sebaik karya-karya pujangga Surakarta.Dan isinya pun hanya sedikit sekali berbau kejawen.Tetapi pandagannya tentang dunia bisnis jauh lebih maju dari pada Wulangreh.[9]
5)      Serat Darmalaksita
“Manungsa apa kajate, sinembadan sakayun, yen dumunung mring wolung warni, ingaran Asta Gina, panggautan gelaring pambudi, warna-warna sakacung gahira, nut ing jaman kalakone, regen ping kalihipun,dadi pamring marang pakolih, katri geni garapnya, margane mrih cukup, ping pat nastiti pamriksa, iku dadi margane weruh ing pasti, lima wruh ing petungan. Watek adoh mring butuh sehari, kaping nenem taberi tatanya, ngundhakken marang kawruhe, ping pitu nyegah kayun, pepinginan kang tanpa kardi, tan boros marang arta, sugih watekipun, ping wolu nemen ing sejo, watekira sarwa gelis ingkang kinapti, yen bisa kang mangkana”
Terjemahanya:
“Apa yang dihajatkan manusia bakal terpenuhi apabila dia menepatkan diri dalam delapan macam yang disebut Asta Gina. Pertama membudidayakan terbukanya lapangan usaha, yang bermacam-macam bentuknya dan usahakan sekuat tenaga, dengan mengikuti gerak laku jamanya (sesuai dengan perkembangan jaman). Kedua Rigen (padai mencari akal) agar supaya memperoleh hasil yang diinginkan. Ketiga Gemi (hemat dan cermat) dalam menggarap dan mengelolanya, hingga dapat mencukupi keperluan. Keempat Nastiti (cukup hati dan teliti) dalam mengamati dan memeriksa sesuatu hingga ia dapat diketahui secara pasti. Kelima perhitungan (cara menghitung sesuatu orang yang tau perhitungan biasa tak terdesak kebutuhan yang mendadak sehari-hari. Keenam Tabri (rajin) bertanya untuk menambah ilmu pengetahuan. Ketujuh menahan kehendak hawa nafsu dari berbagai keinginan yang tak berfaedah dan tidak memboroskan uang yang semuanya itu membawa kecukupan. Kedelapan bertekat bulat (bersungguh-sungguh) dalam kehendak, watak demikian itu cepat mencapai hasil apa yang diinginkan. Oleh karena itu, jika dapat dilakukanlah yang demikian itu”.[10]

B.     Ekonomi jawa dari masa ke masa
1.      Sejarah Perdagangan Orang Jawa
            Karena faktor-faktor obyektif daerah pesisir rupanya selalu lebih maju perdagangannya ketimbang daerah perdalaman. Hal ini adalah wajar mengigat sulitnya perhubungan daerah perdalaman pada waktu itu.Oleh karena itu orang jawa dan orang indonesia pada umumnya yang pernah terkenal sebagai pelaut-pelaut ulung dan pedagang yang tangguh itu akhirnya menjadi amat lemah dibidang kelautan dan perdagangan karena berpindahnya pusat kekuasaan kepedalaman.Di samping itu,beberapa faktor lain juga ikut menyebabkannya.


            Uraian yang cukup lengkap mengenai hal ini antara lain telah dikemukakan oleh Burge dalam bukunya Perubahan-perubahan struktur dalam masyarakat jawa (1977).Oleh kareana itu jelanya perkenankanlah saya sajikan kutipan dari uraian Burger tersebut,meskipun barang kali terasa terlalu panjang.Pendapat burger tersebut antara lain adalah sepanjang berikut :
Adapun pusat peradaban jawa sekitar tahun 1800 ialah karajaan-kerajaan Jawa Tengah yang teradisinya mulai dengan kerajaan Mtaram yang timbul pada akhir abad ke-16.Peradaban Jawa Tengah ini didahului oleh zaman peradaban Jawa Timur , yang paling luas menyebarkan selama kerajaan Majapahit .Msa keagungan kerajaan ini ialah pada abad ke-14 berdasarkan pertanian,yang berupa rumah tangga pedesaan tertutup yang mencangkupi kebutuhannya sendiri,dengan berkewajiban menyerahkan hasil bumi dan memberi jasa-jasa .Akan tetapi di samping itu Majapahit mempunyai perdagangan laut dan pelayaran laut,yang dibarengi dengan adanya kekuatan di lautan.Kerajaan-kerajaan Jawa Timur sebelum Majapahit meluaskan sampai ke bagian-bagian besar disebelah Timur kepulauan Indonesia.Majapahit menguasai lautan dan daerah pesisir yang eliputi wilayah yang luasnya kira-kira boleh disamakan dengan luasnya Indonesia sekarang. Selanjutnya Majapahit mengenal kebudayaan kraton,ang berkat hubungan –hubungan dengan seberang lautan sampai Selat Malaka dan Hindia Belakang ,terbuka bagi pengaruh-pengaruh dari luar.
            Perdagangan laut bangsa jawa ini sudah amat tua . Perdagangan itu sebagian dari perdagangan Asia yang lama yang telah diceritakan oleh B,Schrieke dan Van Leur.Perdagangan laut itu kegiatannya sepanjang pantai Asia Timur dan Asia Selatan dan membawa hasil-hasil Asia ke Bart ,sehingga mencapai kebenua eropa melalui teluk Persia dan Lautan Merah.Rempah-rempah indonesia sudah terkenal di Eropa abad-abad pertama terikh kita.Seluruh perdagangan in terutama terdiri dari barang yang mahal-mahal tetapi keci volumenya ,pendeknya dari barang mewah .Sudah sejak abad ke 11,bahkan lebih dahulu lagi,ada berita tentang pelayaran jawa yang waktu itu dilancarkan lewat tuban ,dan juga yang kemudian terutama dipegang oleh pelabuhan-pelabuhan Jwa Timur.Seperti juga pedagangan Asia kuno yang lain,perdagangan jawa pun dijalankan oleh perdagangan –perdagangan ang mengiringi barang dagangnya:Van Leur menamakan mereka ‘perdagangan-perdagangan kelontong”akan tetapi dari gambarannya ternyata bahwa mereka tidak boleh dikira dari pedagang-pedagang yang terlalu kecil.Diatas golongan ini,menurut Van Leur , terdapan ‘koopheren”(tuan-tuan dagang),yaitu pedagangan-pedaganga besar dan pelepas uang,sering pula tokoh-tokoh pemerintahan yang tidak pergi perdaganagan sendiri,tetapi menyuruh orang lain berdagang jauh.Pengaruh dari raja-raja, dari penguasa-penguasa setempat dan dari kaum bangsawan atas perdagangan ini besar sekali.Perdagangan Jwa tersebut dua cabangnya:pertama-tama,ada perdagangan lintas barng dari Timur ke Brat dan sebaliknya di dalam wilayah peraiaran Indonesia.Kedua,ada ekspor beras dari Jawa ke maluku dan pelabuhan-pelabuhan sepanjang selat Makasar,kemudian juga ke Betawi. Dalam abad ke 17 Jawa dinamakn Lumbung Indonesia.
            Majapahit menjadi lemah dalam abad ke-15 dan tak lama sesudah tahun 1500 lenyap hampir tidak ketahuan.Perdabaannya diteruskan oleh kerajaan-kerajaan pelabuhan dipantai utara ,”pesisir”,yang menjadi besar dalam abad-abad ke-15 dan ke-16.Pada permulaan abad ke-16. Demikian yang memegang kekuasaan tertinggi .Dalam abad ini titik berat lebih berpindah ke negara-negara pesisir kecil yang letaknya lebih ketimur,diantaranya terutama Surabaya maju ke depan.Peradaban pesisir initetap  terarah ke dunia internasional.
            Bagian Selatan Jawa Tengah, di man karajaan Mataram mulai naik,hanya sedikit atau sama sekali tidak ikut dalam perkembangan tersebut.Daerah ini selama ini lebih ketinggalan dan lenih bersifat pandalaman.Menurut pigeaud,daerah ini sekitar tahun 1600”Lebih perkasa dan kasar,kasar udik”kalau dibandingkan dengan Jawa Timur dan daerah Pesisr.Tentang hubungan langsung antara daerah Bagian Selatan Jawa Tengah ini dan Majapahit ,menurut pigeaud,tak ada buktinya dan tidak besar  kemungkinannya.Bagian Selatan Jawa Tengah ini dari sudut ketatanegaraan juga kurang baik organisasinya. Sampai dalam abad ke-16 di daerah ini terdapat “sejumlah besar daerah pertuanan kecil-kecil dan karajaan terutama kecil-kecil”ang sesudah percobaa kerajan pajang yang gagal,baru di bawah Mataram pada akhir abad ke-16 dilebur menjadi satu negar yang lebih besar.Mataram yang masih muda ini berusaha menguasai seluruh Jawa,tidak diakui negara-negara pesisir,lalu memasakan pengakuan itu dengan kekuatan senjata dalam sederetan perang yang kebanyakan berlangsung dalam perempat abad ke-17.Dalam masa ini kota-kota pesisir  kadang-kadang berulang kali dikepung dan dirusak.Demak pada tahun  1604.Lasem dan Pasuruan pada tahun 1616 Tuban pada tahun 1619,Gresik pada tahun 1613 dan 1622,Madura pada tahun  1624 dan Surabaya pada tahun  1625.Surabaya beberapa kali dikepung dan akhirnya jatuh karena  aliran air minum  diputuskan,akal mana dipakai pula dalam tahun 1946 oleh kaum ekstremis yang mengharapkan akan menundukkan kota itu dengan cara demkian .Keadaan perang yang terus-menerus ini pangaruhya merusak perdagangan .Sesudah penaklukan dan pembiasaan daerah-daerah pesisir ,para pedagang kebanyakan mengungsi ke Makasar dan Banjarmasin .Dengan demikian perang menyebabkan matinya perdagangan lintasan di Jawa dan sekalian menjadi sebab kemajuan Makasar yang sudah itu mengalami zaman emasnya.
            Selain dari itu,perdaganga beras di Jawa ke daerah seberang mati ebagai akibat politik  Mataram. Ada memang berita dari tahun 1641dan 1656, bahwa raja Mataram telah melarang kaulanya melakukan perdagangan laut. Sunan menggambil perdagangan laut negeri untuk drinya sendiri ,tak seorang pun dari kaulanya dibolehkan mendapat keuntungan dari perdagangan itu . Monopoli raja ditetapkan atas beras.Orang partikelir yang mengekspor beras akan dihukum mati.      
Yang dapat kita tarik dari kutipan tersebut adalah bahwa lemahnya semangat dagang pada kebanyakan orang Jawa sekarang ini bukanlah suatu ciri wanci yang tak dapat diperbaiki .Kita pasti bisa merubahnya asal mau mencoba.[11]
2.      Sejarah Perdagangan Jawa Masa Pendudukan Hindia-Belanda
PADA TAHUN 1830 dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah jawa. Untuk pertama kalinya, pihak belanda mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini, dan tidak ada satupun tantangan yang serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad XX. Perang jawa merupakan investasi tenaga manusia dan dana mereka yang besar, dan terakhir dalam pertarungan memperebutkan hegemoni. Andaikan ada keuntungan yang bisa didapatkan dari keterlibatan VOC di jawa tengah dan jawa timur, selama lebih dari dua abad itu tak seorang pun berhasil memperolehnya terkecuali untuk keuntungan oknum – oknum yang telah mendapatkan kekayaan pribadi secara korup. Hanya perkebunan –perkebunan kopi di priangan (jawa barat) yang merupakan usaha –usaha yang selalub mendatangkan keuntungan. Akan tetapi, di jawa tengah dan jawa timur, keuntungan –keuntungan yang berhasil diperoleh dari sana telah habis untuk biaya militer dan administrasi.
Selama Perang Jawa berlangsung, pihak belanda memikirkan berbagai rencana untuk jawa.semuanya mempunyai sasaran umum yang sama,yaitu bagaimana memperoleh hasil daerah tropis dalam jumlah dan harga yang tepat sehingga akan memberikan keuntungan, suatu sasaran yang telah menjadi fokus pemikiran orang –orang belanda sejak keberangkatan pelayaran mereka yang pertama pada tahun 1595. Pada tahun 1829, johannes van den bosch ( 1780 – 1844 ) menyampaikan kepada raja belanda usulan – usulan yang kelak disebut cultuurstelsel (sistem tanam paksa )raja menyetujui usulan –usulan  tersebut, dan pada bulan januari 1830, van den bosch tiba di jawa sebagai gubernur jenderal yang baru (1830 – 3).
Pemikiran van den bosch mengenai cultuurstelsel tersebut tidak pernah dirumuskan secara eksplisit,tetapi tampaknya sistem itu didasarkan pada suatu prinsip umum yang sederhana.desa-desa  jawa berutang pajak tanah ( land rent ) kepada pemerintah, yang biasanya di perhitungkan sebesar 40% dari hasil panen utama desa itu ( biasanya beras ) . dalam kenyataannya, taksiran yang sesungguhnya sering dibawah angka ini dan pemungutan pajak tersebut ( sebagian besar dibayar dalam uang tunai ) sering kali sulit dilaksanakan karena tidak memadainya administrasi dan adanya kekurangan mata uang. Rencana van den bosch ialah bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya guna ditanami komoditas ekspor ( khususnya kopi, tebu, dan nila ) untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan. Dengan begitu, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya, dan van den bosch memperkirakan bahwa 20% (kelak 33%) dari hasil panen desa tersebut akan cukup memadai untuk tujuan ini.
Delam teori, setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Desa masih memiliki tanah yang lebih luas untuk kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai. Sebagai pengganti pendapatan yang tidak pasti dari pajak tanah, pemerintah akan mendapatkan komoditas daerah tropis yang begitu murahnya sehingga, menurut perkiraan van den bosch, masih dapat bersaing dengan gula Hindia Barat di pasaran dunia yang dihasilkan oleh tenaga budak. Dalam praktik, tidak pernah ada “sistem” sama sekali.[12]
Bagi rakyat Jawa yang paling miskin, yaitu buruh-buruh yang tak punya tanah, kesempatan baru untuk menjadi buruh upahan mungkin berarti kesempatan memperbaiki secara berarti kondisi material mereka. Kaum tani Jawa tampak sudah cukup mobil di masa ini. Sejumlah besar dari mereka berpindah jauh untuk menghindari beban-beban atau untuk mencari pekerjaan. Bentuk-bentuk perlawanan lain juga terlihat, seperti sabotase, tindakan-tindakan kekerasan perseorangan, dan demonstrasi-demonstrasi protes secara bersama.
Sebuah kelompok baru dan penting muncul di masyarakat Jawa pada abad XIX. Kelompok ini dibesarkan oleh kesempatan atas upah buruh dan kewirausahaan yang berkembang selama masa cultuurstelsel dan liberal yang mengikutinya. Tak bisa dipungkiri bahwa kerja paksa merupakan jantung dari cultuurstelsel, sementara banyak kegiatan yang tidak dikelola seperti itu: pembuatan tembikar dan karung goni, produksi tekstil, tukang bangunan, hiburan, peleburan besi, pengolahan hasil tani, transportasi darat, pembuatan kapal dan perdagangan yang terkait dengannya, bahkan sebagian panen tebu, terbuka untuk upah buruh dan pengusaha lokal. Dari kegiatan-kegiatan ini mulai bermunculan pribumi kelas menengah.
Telah ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus yang banyak, setidak-tidaknya secara paksa. Akan tetapi, surplus ini digunakan untuk menopang pemerintahan penjajahan belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya di daerah-daerah luar jawa, dan perekonomian dalam negeri Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga kerja orang jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional. Pihak Belanda berhasil memeras perekonian Jawa, sambil mengembalikan keuntungan-keuntungan yang berarti hanya kepada sekelompok kecil masyarakat pribumi.
Pada tahun 1860, seorang mantan pejabat kolonial, Eduard Douwes Dekker (1820-1887), menerbitkan sebuah novel berjudul Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli. Buku ini mengungkapkan dengan sangat pas keadaan pemerintahan kolonial yang lazim dan korup di Jawa. Buku ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam menentang rezim penjajahan abad XIX di jawa. Akan tetapi, kaum liberal menghadapi suatu dilema: mereka ingin dibebaskan dari cultuurstelsel, tetapi tidak dari keuntungan-keuntungan yang diperoleh Belanda di Jawa.
Secara umum dapat dikatakan bahwa harapan-harapan para pembaharu liberal gagal terwujud bila yang dijadikan ukuran adalah anggapan mereka bahwa pengaturan ekonomi baru dapat menguntungkan rakyat pribumi dan sekaligus melanjutkan penyerapan surplus pertanian Jawa untuk keuntungan ekonomi negeri belanda dan para pedagang swasta.
Pada tahun 1880-an terjadi krisis besar yang memengaruhi rakyat pribumi Jawa maupun orang-orang yang berhasil mengeksploitasi mereka. Dari tahun 1870-an, penyakit daun kopi mulai menyebar dan produksi kopi pun jatuh. Lebih penting lagi, pada tahun 1882 hama gula menghantam Cirebon. Dari sana hama ini kemudian menyebar ke timur menyeberangi Pulau Jawa dan mencapai ujung timurnya pada tahun 1892. Industri gula Jawa kemudian terpukul lebih jauh ketika gula bit membanjiri pasar Eropa. Pada tahun 1884, harga gula terpuruk. Karena gula mendominasi perekonomian Jawa, maka krisis tersebut berdampak luas.
Laporan van Deventer tahun 1904 memperkirakan bahwa rata-rata keluarga di Jawa harus membayar kepada pemerintah sebesar 23% dari penghasilan tunainya dan 20% dari keseluruhan penghasilannya (uang dan barang).  Untuk dapat membayar pajak dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan lainnya, para petani harus berpaling kepada para lintah darat, di antaranya yang mencolok adalah para haji lokal. Para haji lokal secara hukum adalah “penduduk pribumi” sehingga dapat memiliki tanah. Penyitaan tanah yang mereka lakukan membuat orang yang tidak mempunyai tanah semakin banyak. Orang-orang Cina, yang termasuk golongan “orang-orang Timur Asing”, tidak dapat memiliki tanah sehingga harus bekerja melalui para penghubung pribumi, tetapi mereka mempunyai posisi yang kuat karena memiliki rumah-rumah gadai dan sekaligus tempat-tempat mencandu. Hak menjual candu oleh pemerintah dihapuskan secara bertahap mulai tahun 1894, dan akhirnya digantikan oleh Administrasi Candu  negara di seluruh Jawa pada awal tahun 1904. Pegadaian dihapuskan secara bertahap tidak lama sesudah itu. Akan tetapi, orang-orang Arablah yang merupakan lintah darat paling serakah di antara yang lain. [13]
Di antara semua istana kerajaan, Mangkunegaranlah yang paling berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan baru pada masa kekuasaan Belanda. Landasan dari kegiatan ekonomi ini diletakkan oleh Mangkunegara IV (1835-1881). Dia memperkerjakan orang-orang Eropa untuk memperkenalkan teknik-teknik Eropa dalam pengelolaan dan eksploitasi negara, tetapi dengan perbedaan yang penting bahwa keuntungan-keuntungannya ditanamkan kembali di daerah kekuasaannya daripada dikirim ke luar negeri. Dua kali, di tahun 1857 dan 1877, Mangkunegara IV gagal mendapat kembali perkebunan-perkebunan yang sudah disewakan kepada pengusaha-pengusaha Eropa. Akan tetapi, dia berhasil sedikit demi sedikit mengganti sistem apanage bagi para abdi dalem dan pejabatnya dengan sistem gaji. Walaupun penduduk pedesaan menanggung beban yang berat, namun terjadinya perpindahan penduduk ke daerah-daerah kekuasaannya menunjukkan bahwa beban tersebut lebih ringan jika dibandingkan dengan di beberapa daerah lainnya. Akan tetapi, Mangkunegara IV telah menciptakan suatu perekonomian “terbelakang” yang khas, yang penghasilannya tergantung pada harga pasaran dunia untuk beberapa jenis komoditas. Sesudah masa pemerintahannya, Mangkunegaran, sebagaimana juga daerah-daerah lain di Jawa, mengalami krisis keuangan yang hebatnya akibat gula bit di Eropa. Keadaan ini menyebabkan Residen Surakarta melakukan pengawasan langsung terhadap keuangan Mangkunegaran dari tahun 1888 sampai tahun 1899. Selama masa itu, keuangan Mangkunegaran dapat dipulihkan kembali.
Karena elite kerajaan dan birokrasi Jawa begitu terikat kepada pemerintah kolonial berpusat di daerah-daerah perkotaan, atau berkurang peranan politiknya, maka protes-protes petani pedesaan hanya menemukan sedikit pimpinan. Protes-protes sering meletus, pertama mulai tahun 1870-an dan seterusnya. Memang, protes-protes tersebut maupun pemberontakan-pemberontakan kecil-kecilan seringkali ditujukan khususnya terhadap pemerintahan pribumi, dan juga terhadap orang Cina atau para pejabat dan pengusaha Eropa. Para petani mencari ilham dalam gagasan-gagasan yang sifatnya mesianistis, baik dalam Islam maupun dalam ajaran asli Jawa. Kepemimpinan yang mereka dapat seringkali berasal dari para pemimpin Islam pedesaan. Akan tetapi, tak satupun dari gerakan-gerakan ini benar-benar mengancam kekuasaan kolonial. Kekecewaan rakyat mengakar secara mendalam pada akhir abad XIX, tetapi tanpa pimpinan atau koordinasi yang efektif.
Islam di Jawa mengalami perubahan sangat besar. Islam kejawen yang terbentuk pada akhir abad XVIII sufisme dengan tiga ciri khas: identitas Islam yang kuat, ketaan menyeluruh pada lima rukun Islam, dn penerimaan atas kekuatan supernatural Jawa mendapat tantangan dari dua arah utama. Pertama, pergerakan baru reformasi Islam yang menyebar dari Timur Tengah. Di Indonesia, pergerakan ini pertama kali  dilakukan oleh Kaum Padri di Sumatra Barat. Kedua, bentuk pembaharuan yang diwakili oleh kolonialisme Belanda dan peradaban Eropa yang iondustrial dan berkemajuan abad XIX. Islam kejawen memang tidak ditinggalkan seluruhnya, tetapi tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya ekspresi keberagaman di antara orang Jawa.
Pemerintahan Daendels
Tujuannya mengamankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Kebijakan pemerintahan Daendels dalam bidang ekonomi antara lain :
1.         Membentuk dewan pengurus keuangan (Algemene Rekenkaer)
Berfungsi sebagai Pengadilan Audit yang bertugas memantau pengeluaran dari Belanda.
2.         Pajak in Natura (Contingenten)
3.         Preanger Stelsel
Berupa wajib menanam kopi di daerah Priangan.
Pemerintahan Raffles
Diawali dengan adanya Kapitulasi Tuntang.
Kebijakan pemerintahan Raffles dalam bidang ekonomi antara lain :
1.         Sistem Sewa Tanah (Landrente)
2.         Penghapusan pajak bumi (Contingenten)
Pemerintahan Van den Bosch
Tujuannya untuk mengisi kekosongan kas yang digunakan untuk biaya perang.
Kebijakan pemerintahan Van den Bosch dalam  bidang ekonomi antara lain :
1.         Aturan Tanam Paksa
2.         Tanah untuk menanam tanaman wajib dikenai pajak
Akibat adanya sistem liberal :
Bagi Belanda :
1.         Memberikan keuntungan besar bagi kaum swasta dan pemerintah Belanda
2.         Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalami kemajuan
3.         Negeri Belanda menjadi pusat perdagangan
Bagi Indonesia :
1.         Kemerosotan kesejahteraan penduduk
2.         Adanya krisis perkebunan
3.         Penderitaan karena rodi

Politik Etis
Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan dan sekaligus pada keuntungan ekonomi. Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan bangsa Belanda yang dilontarkan dalam novel Max Havelaar dan dalam berbagai pengungkapan lainnya mulai membuahkan hasil. Semakin banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas.

Ekonomi Jawa abad XX
Tahun 1880-1930, nilai ekspor kopi Jawa menurun hampir 70%, pada tahun 1930, ekspor kopi daerah-daerah luar Jawa menjadi dua kali lipat dari nilai ekspor kopi di Jawa, nilai ekspor karetnya hampir dua kali lipat dari nilai ekspor karet Jawa, dan nilai ekspor tembakau hampir empat kali lipat daripada nilai ekspor tembakau Jawa, di antara komoditas-komoditas ekpor yang penting, Jawa mengungguli non-Jawa pada komoditas teh dan gula; yang disebut hampir sepenuhnya merupakan produksi Jawa. Nilai ekspor gula dari Jawa mencapai puncak pada tahun 1920, tetapi merosot 75% pada dasawarsa berikutnya karena semakin rendahnya harga. Ekspor teh Jawa semakin meningkat nilainya, tetapi pada tahun 1930 hanya mencapai separuh dari nilai ekspor karet daerah-daerah luar Jawa. Ekspor ubi kayu hampir seluruhnya berasal dari Jawa, tetapi nilainya hanya sekitar seperdelapan dari ekspor karet pulau-pulau luar Jawa. Pada tahun 1925, 99% (nilai) ekspor minyak bumi berasal dari daerah-daerah luar Jawa.tahun 1930, komoditas-komoditas ekspor yang penting (ubi kayu, kopi, kopra, karet, gula, teh, tembakau, timah, dan minyak bumi) mencapai jumlah sekitar 930,5 juta gulden, 55,3% di antaranya berasal dari daerah-daerah luar Jawa. Jawa menghasilkan 44,7%, tetapi lebih dari 60% nya berupa ekspor gula, sehingga Jawa (terutama Jawa Timur) menjadi salah satu penghasil gula yang terbesar di dunia. Turunnya harga gula dan kebutuhan untuk menggunakan lahan tebu bagi penanaman padi untuk kepentingan penduduk Jawa yang semakin bertambah banyak jumlahnya juga mengancam komoditas ekspor yang penting ini.[14] Inilah praktik pelaksanaan politik Etis, ketika langkah-langkah kesejahteraan mulai dijalankan di Jawa,  maka orang-orang Sunda dan Jawa menyadari bahwa dana dan tenaga kerja diminta dari  mereka untuk membiayai program-program baru tersebut. Ketika kondisi keuangan kolonial terancam setelah Perang Dunia I, maka pajak yang dikenakan kepada orang Indonesia mengalami kenaikan yang sangat besar, yang menunjukkan bahwa kesejahteraan kurang penting daripada anggaran yang seimbang.
Perbedaan antara Jawa dan Luar Jawa yang berakar pada masa lalu terlihat mencolok. Daerah-daerah luar Jawa mempunyai ikatan dengan Islam yang lebih mendalam, kegiatan kewiraswastaan yang lebih besar dengan Islam lebih besar, komoditas-komoditas ekspor yang lebih berharga, dan investasi asing yang lebih besar. Selain itu, kawasan ini lebih belakangan ditaklukan oleh Belanda dan tekanan jumlah penduduknya kurang padat. Jawa, sebaliknya, merupakan kawasan yang pengislamannya kurang mendalam, yang kegiatan kewiraswastaannya kurang besar, yang nilainya sebagai sumber komoditas ekspor merosot, yang pertumbuhan ekonomi barunya tidak pesat, yang menghadapi campur tangan penjajah lebih lama dan lebih mendasar, serta yang jumlah penduduknya padat.
Pertumbuhan penduduk Jawa mempunyai kaitan yang mendasar dengan tingkat kesejahteraannya yang rendah, tetapi pihak Belanda tidak mempunyai kebijakan yang dapat memecahkan masalah tersebut. Memang, sulit untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan. Kecuali beberapa eksperimen terbatas dan gagal dalam pembaharuan agraria, satu-satunya jawaban yang diberikan Belanda adalah emigrasi dari Jawa ke luar Jawa, suatu kebijakan yang masih terus dilanjutkan setelah kemerdekaan Indonesia dengan nama “transmigrasi”.[15]
3.      Sejarah Perdagangan Jawa Pasca Kemerdekaan sampai Reformasi

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa struktur perekonomian Indonesia masih dominan di Pulau Jawa dan Sumatera. Hal ini dikatakan Kepala BPS, Suryamin, pada Senin 6 Mei 2013. Provinsi di Pulau Jawa masih memberikan kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) yaitu 57,79%, diikuti kolompok Sumatera sebesar 23,99%. Sementara itu, provinsi-provinsi yang memberikan sumbangan terbesar di Pulau Jawa adalah DKI Jakarta sebesar 16,46%, Jawa Timur 14,98%, Jawa Barat 13,88%, dan Jawa Tengan sebesar 8,39%.[16]
C.     HUBUNGAN PEREKONOMIAN JAWA DENGAN NILAI-NILAI ISLAM
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan, dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali mengambil riba maka orang itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 275)
            Hubungan



[1] Purwadi, Filsafat Jawa, (Yogjakarta: Panji Pustaka, 2006), hal 231-232
[2] Ibid, hal 234-236
[3] Ibid, hal 255-260
[4] Ibid, hal 260-271
[5] Sujamto, Refleksi Budaya Jawa, (Semarang: Dhahara Prize, 1997), hal 149
[6] Ibid, hal 151-155
[7] Ibid, hal 155-159
[8] Ibid, hal 159-161
[9] Ibid, hal 161-165
[10] Daryono, Etos Dagang Orang Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal 236-237
[11] Op cit, hal 165-168
[12] Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal 261
[13] Ibid, hal 272-274
[14] Ibid, hal 332-333
[15] Ibid, hal 336
[16] Waspada Online, Ekonomi dan Bisnis (Senin, 6 Mei 2013 15:42)

No comments:

Post a Comment