BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Jawa secara umum dapat dikenal dalam artian suku jawa, bangsa jawa,
atau orang-orang yang hidup di pulau jawa. Sejarah panjang kehidupan di jawa
dapat kita lihat dari berbagai peninggalan kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa
di pulau jawa pada masa lampau. Puluhan kerajaan pernah berkuasa di tanah jawa,
tiap kerajaan tersebut memiliki corak budaya, adat istiadat yang serupa. Dari
sekian banyak kerajaan yang berkuasa di tanah jawa, yang memberikan corak adat
istiadat hingga membekas sampai saat ini adalah kerajaan Mataram yang berkuasa
di sekitaran Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Lebih spesifik lagi dari corak kerajaan Mataram yang masih bertahan
hingga saat ini adalah budaya kejawen. Saat ini orang Jawa dan kejawen mungkin
sudah sangat jarang orang yang melaksanakan budaya-budaya kejawen, hanya orang
tertentu yang melestarikan budaya tersebut.
Pengetahuan budaya Jawa pada mahasiswa saat ini mengalami
kelunturan, dimana banyak para mahasiswa tidak memperhatikan adat istiadat dan
budaya jawa khususnya dalam bidang perekonomian. Perekonomian jawa sangat
menarik, dimana masyarakat jawa tidak hanya mementingkan aspek menumpuk
kekeyaan saja tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan, kemasyarakatan bahkan
sastra.
Hal di atas melatarbelakangi penulis menyusun makalah ini guna
memberikan pengetahuan tentang ekonomi Jawa secara umum dan hubungannya
denganislam di tanah Jawa.
B.
Rumusan
masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, permasalahan yang dirumuskan penulis adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
kegiatan dan nilai-nilai serta sifat perekonomian Jawa ?
2.
Bagaimana
keadaan perekonomian Jawa dari masa ke masa ?
3.
Apa
hubungan antara kegiatan perekonomian di Jawa dengan nilai-nilai agama Islam ?
C.
Tujuan
1.
Mahasiswa
mampu mengetahui nilai-nilai dan sifat kegiatan perkonomian di Jawa.
2.
Mahasiswa
mampu mengatahui keadaan ekonomi di Jawa dari masa ke masa.
3.
Mahasiswa
mampu mengetahui hubungan antara perekonomian Jawa dengan nilai-nilai agama
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kegiatan
ekonomi Jawa
1.
Kegiatan
perekonomian Jawa di pedesaan
Dilihat dari geografi tempat tinggal orang-orang jawa, pulau jawa
yang terdapat sangat banyak gunung vulkanik aktif yang pastinya tanah di
sekitarnya sangat subur. Maka kebanyakan masyarakat jawa menggantungkan
kehidupannya dari kegiatan pertanian. Pertanian tidak serta merta dilakukan
oleh seluruh masyarakat jawa, tetapi sebagian lainnya juga bergerak di bidang
perdagangan.
Pertanian dan perdagangan disebut mbakul dan macul dalam bahasa
jawa. Mbakul lebih berarti ke kegiatan berdagang, jual beli di pasar dan
melakukan kegiatan penjualan atau pembelian barang. Sedangkan macul, dalam
bahasa Indonesia berarti mencangkul dapat diartikan sebagai kegiatan
bertani/pertanian, mengolah lahan dan bercocok tanam. Kedua kegiatan ini bisa dikatakan
sebagai soko guru perekonomian masyarakat jawa khususnya di pedesaan.
Mbakul (berdagang) dilakukan orang jawa dilihat dari hiruk pikuknya
masyarakat dalam berusaha meraih nafkah rezeki di pagi hari. Pagi-pagi benar
mereka sudah bangun tidur. Menurut keyakinan orang jawa rezeki seseorang akan
diambil oleh ayam bila bangun tidur kesiangan. Para pedagang memulai paginya
dengan harapan yang optimis.[1]
Kegiatan berdagang pada masyarakat jawa biasanya dilakukan oleh
kaum perempuan yang biasa disebut mbok-mbok bakul (ibu-ibu pedagang). Mereka
biasanya memperjualbelikan hasil bumi yang berupa beras, jagung, ubi-ubian,
sayuran dan buah-buahan yang dijajakan di pasar untuk dipertemukan dengan
konsumen. Tidak menutup kemungkinan para pedagang tersebut munjual barang-barang
kebutuhan rumah tangga lainnya seperti peralatan dapur, peralatan masak dan
lain-lain. Mereka berjalan menuju pasar dengan membawa barang dagangan itu
dengan cara dipikul atau digendong.
Perdagangan pada masyarakat jawa berlangsung pada hari pasaran,
yakni pon, wage, kliwon, legi dan pahing. Kegiatan berdagnag pada suatu pasar
trdisional biasanya ditetapkan pada salah satu atau dua hari pasaran yang telah
ditetapkan sebelumnya. Contohnya, pada suatu pasar tradisional kegiatan
perdagangan akan sangat ramai pada hari pasaran pon dan legi saja, sedangkan
pada hari pasaran yang lainnya kegiatan berdagang akan beralih pada pasar
tradisional di daerah ynag lainnya. Sistem bakulan ini merupakan sokoguru
perekonomian masyarakat jawa.
Macul(mencangkul) diartikan sebagai kegiatan pertanian di kehidupan
masyarakat jawa. Pertanian di pulau jawa sangat subur hal ini diakibatkan dari
banyakny gunung berapi yang berada di pulau jawa. Kegiatan pertanian dilakuan
oleh masyarakat di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Pada masyarakat
dataran rendah biasanya melakukan pertanian dengan mengolah sawah basah yang
ditanami palawija atau padi, sedangkan pada dataran tinggi lebih sering
mengolah ladang dengan ditanami sayur mayur atau buah-buahan, ada pula yang menanam
palawija tapi tidak sebanyak yang ada di dataran rendah.
Dalam masyarakat jawa yang masih melestarikan adat kejawen, meraka
dalam melakukan kegiatan pertanian sebagai contoh ketika pada saat akan
melakukan penanaman bibit bawang mereka masih akan mencari hari baik untuk
menanam. Sebaliknya pada saat akan memanen juga seperti itu mereka akan mencari
hari baik untuk panen agar mendapat hasil yang maksimal.
Para petani jawa adalah pekerja yang ulet. Mereka sambil mengolah
lahan pertaniannya juga menyabit rumput untuk pakan ternak mereka. Seolah-olah
rumput tersebut adalah oleh-oleh untuk raja kaya mereka yang menunggu di rumah.
Hewan ternak mereka tidak dijadikan sebagai sumber pendapatan utama tetapi
lebih dijadikan sebagai cadangan harta yang tiap saat bisa dijual bila
diperlukan.
Ciri-ciri kegiatan perekonomian masyarakat jawa khususnya di desa:
1)
Menjunjung
kebersamaan
Hal ini diwujudkan dalam bentuk kerja bakti, gotong royong,
sambatan, jagongan dan rewang. Tanpa diundang apabila ada tetangga punya hajat,
tetangga yang lain bersedia dan siap membantu.
2)
Suka
kemitraan
Orang jawa beranggapan bahwa siapa saja yang datang dianggap
sebagai saudara. Bahkan mereka memiliki anggaran khusus untuk menjamu tamu.
3)
Mementingkan
kesopanan
Etika kesopanan orang jawa terwujud dalm istilah unggah-ungguh,
tata krama, tata susila, basu krama, suba sita dan sopan santun. Hal ini
diutamakan agar orang dapt diterima dalam pergaulan sosial secara wajar. Orang
jawa cenderung menggunakan bahasa yang halus bila berhadapan dengan orang yang
dihormati.
4)
Ahli
musim
Mereka mengerti sekali soal pergantian musim terutama berkaitan
dengan masa tanam, dan masa panen(musim hujan, kemarau, labuh,mareng)
5)
Pertimbangan
religius
Sebagai contoh, pada saat hajatan penting pasti dicarikan hari pasaran
yang baik. Bahkan ada upacara tradisional yang berhubungan dengan sistem
kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
6)
Toleransi
tinggi
Kejadian diluar dirinya dibiarkan saja berjalan secara alami. Orang
mudah untuk memaafkan kesalahan pihak lain, bahkan ada kecenderungan
menutupinya.
7)
Hormat
pada pemimpin
Hormat pada pemimpin dilakukan sebagai kewajiban agar mendapat
berkah ketentraman karena keselarasan hidup dapat diperoleh hanya dengan
berlaku harmonis dengan lingkungan dan pamong raja.
8)
Hidup
pasrah
Mereka tidak mununtut macam-macam kepada pemerintah. Bila keamanan
dan ketentraman sudah didapatkan mereka tidak akan menuntut lebih.
9)
Cinta
seni
Orang jawa mudah mengendalikan emosinya karena cinta pada seni
halus. Contoh dari seni tersebut adalah kethoprak dan wayang kulit(wayang
purwa).
10)
Dekat
alam
Masyarakat jawa yang mata pencaharaiannya bertani atau bercocok
tanam, yang selalu berkaitan dengan tanah. Banyak upacara tradisional orang
jawa yang bertujuan untuk menghormati tanah. Contohnya upacara babak bumi.[2]
2.
Filosofi
Gotong-Royong Gugur Gunung
Gugur Gunung
Ayo Kanca ayo kanca ngayahi karyaning praja
Kono-kene kono kene gugur gunung tandang gawe
Sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane
Lila lan legawa kanggo mulyaning negara
Siji loro telu papat bareng haju papat-papat
Diulang-ulungake murih enggal rampunge
Holopis kuntul baris holopis kuntul baris
Holopis kuntul baris holopis kuntul baris
Jenang artinya bubur atau makanan. Arti kiasnya adalah bahwa orang
yang memiliki jeneng ‘nama’ yang kokoh secara otomatis ia akan mendapat jenang
‘nafkah’. Jeneng harus didahulukan daripada jenang. Jangan sebaliknya minta
jenang dahulu. Nanti menimbulkan kecemburuan dan kecurigaan.kalau jeneng
didapat, tidak usah minta-minta, jenang akan datang dengan sendirinya.boleh
jadi jeng itu diperoleh dalam jumlah yang berlipat-lipat dari yang diharapkan.
Prinsip ini seharusnya dipegang oleh kaum profesional yang benar-benar menekuni
pekerjaan atau usahanya.
Jeneng artinya nama. Orang yang kondang artinya orang yang memiliki
nama baik dan integritas yang diakui. Istilah Jawanya adalah kondang kaonang,
kaloka, kaewentar, kuncara, kaceluk atau tenar. Namun baik dan harum seseorang
diperoleh melelui perjuangan yang gigih. Apalagi kalau perjuangannya itu demi
kepentingan orang banyak. Massa akan mengingat jasa-jasanya meskipun dia sudah
tiada. Contohnya adalah nama besar Ki Hajar Dewantara, Cokroaminoto, Soekarno,
Ahmad Dahlan dan lain sebagainya. Mereka memiliki jeneng yang sugeng atau
langgeng. Keabadian namanya memeng sudah layak dengan perjuangan. Bahkan
sebagian besar dari mereka tidak menikmati jerih payahnya.
Guyub berarti perasaan suka rela untuk menggabungkan diri sehigga
dicapai sebuah kekompaka dalam melakuka aktifitas kerja. Contohya orag yag puya
hajayt dipedusus, maka para tetangga dan arib erabatnya akan dengan suka rela
memebantu tanpa megharapkan imbaan apapun.
Rukun adalah kesatuan perasaan antar individu dalam melaksanakan
sebuah visi bersama dengan menyingkirkan segala jenis pertengkaran dan
pertentangan. Dalam bahasa rukun kuwi angedohi padu do n rukun itu menunjukkan
pertenhkaran.
Sayuk adalah tekad menunggalnya perasaan antar individu atau
kelompok dalam meuntaskan kejasama.biasanya digunakan dengan kata rukun. Dalam
tembang Jawa ada ngkapan sayuk-sayyk rukun bebarengan sakancane ‘manuggal rukun
bersama dengan teman-temannya.
Gotong royong adalah kerja soial yang besar dan berat tetapi terasa
ringan dan riang karena ditangani orang banyak secara ramai-ramai.
Masing-masing arga masyarakat terlibat sesuai dengan profesi dan kemampuanya.
Gugur gunung mempunyai makna kerja sosial yang harus dilakukan
secara bersamasama untuk menyelesaikan kerja yang mahaberat seolah olah separti
meruntuhkan gunung. Menelik namanya, gugur gunung berarti menghancurkan gunung. Istilah gugur gunung
memberi inspirasi dan spirit kepada orang banyak agar tidak silau terhadap
pekerjaan yang sangat berat. Seperti ungkapan : berat sama dipiku ringan sama
dijinjing.
Mituhu artinya berakti, menurut, menpercayai dan meyakini ajaran
orang tua atau guru. Murid dan anak yang baik tentu akan mituhu kepada orang
tua dan gurunya. Orang yang mau mituhu terhadap ajaran leuhur hidupnya
beruntung. Murid yang mituhu akan cepat meresapkan ilmu pengetahuan diotaknya.
Dengan pelan pelan dan tertib ilmu yang diperoleh dari guru diterima dengan
baik. Sedikit demi sedikit ilmu akan berkumpul menjadi banyak.
Lama lama tanpa ada beban, orang yang mau mituhu itu menjadi
menonjol. Kecakapanya diakui oleh orang lain. Masyarakat menggunakan
kecakapannya dan keterampilannya sehingga dia menjadi orang yang bermanfaat.
Mitayani berarti dapat dipercaya karena mampumenyelesaikan
pekerjaan. Segala bentuk pikiran, ucapan dan perbuatan dapat dipercaya oleh
orang lain. Apa yang diperbuat senantiasa dianggap benar dan dipercayai oleh
orang lain. Supaya orang mendapat gelar mitayani, dia harus bersih, jujur, dan
bebas dari kesalahan yang fatal. Sekali berkhianat terhadap perilakunya, saat
itu juga kepercayaan orang akan buyar.[3]
3.
Mikul
Dhuwur Mendhem Jero
Semua orang harus bersikap mikul dhuwur. Mikul dhuwur artinya
memikul tinggi-tinggi. Arti etimologisnya bahwa seorang anak berkewajiban
mengharumkan nama Ayah dan Ibu serta martabat keluarga.
Mendhem bukan berarti mabuk seperti mendem kecubung, tetapi berarti
mengubur. Jero artinya dalam. Mendhem jero maknanya mengubur dalam-dalam
keburukan dan kekurangan orng tua, aib keluarga dan kelemahan masyarakat.
Sedapat-dapatya aak atau warga negara harus menutupi apa yang menjadi rahasia
keluarga dan masyarakat.
Prinsip mendhem jero sangat
mulia bila diterapkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bernagara.
Keterangan diatas sesuai dengan idiom kearifan lokal sebagaimana yag telah
diuraikan oleh Siti Hardiyanti (1991) sebagai berikut :
Sing sapa mung
arep oleh wae, nanging emoh kangelen, iku aran wong kesed, iku kabeh aja
ditiru, jalaran kulawarga lan bangsa uga rugi.
Barang siapa hanya ingin enaknya saja, tapi tidak suka kerja, itu
orang yang malas, itu semua jangan ditiru, sebab keluarga dan bangsa juga rugi.
Kudu angon
wektu.
Harus memperhatikan waktu.
Tumindak aja
nganti getun mburine.
Berbuat sesuatu jangan sampai kecewa dibelakang hari.
Gawe rusak. Ora
becik. Dene gawe rusaking mungsuh dudu barang kang aneh.
Membuat rusak itu tidak baik. Sedang membuat susah musuh itu bukan
hal yang aneh.
Mungsuh sing
wis nungkul aja dipateni.
Musuh yang sudah menyerah jangn adibunuh.
Sing sapa arep
menange dhewe, kuwi nemahi cilaka.
Barang siapa ingin menang sendiri, itu akan celaka.
Sing sapa gelem
mbuang ilmu karang bakal namoni kabacikan.
Barang siapa berani membuang ilmu karang akan menemui kebahagiaan.
Sing sapa mung
arep gawe seriking liyan, kuwi uga arep nemahi cilaka.
Barang siapa yang akan membuat sakit hati orang lain, itu juga akan
celaka.
Sing sapa
seneng udur, iku bakal kena bebendu dening Pangeran.
Barang siapa suka bertengkar, aka kena amarah Tuhan.
Sing sapa
seneng gawe nelangsaning liyan, ikuning tembe bakal kena piwales saka penggaweane dhewe.
Barang siapa gemar membuat sengsara orang lain, akhirnyaia akan
mendapatkan pembalasan dari perbuatannya sendiri.
Angrembuga kang
perlu kawala.
Berbicaralah yang perlu-perlu saja.
Wani ngalah
luhur wekasane.
Barang siapa berani mengalah akhirnya kan mendapatkan keluhuran.
Goleka kanca
sing padha tujuane.
Carilah teman yang tujuannya sama.
Kebangsaan / Nationhood
Bangsa iku
minangka sarana kuwating negara, mula aja ngliwarake kebangsanira pribadi,
supaya kanugerhan bangsa kang handana warih.
Bangsa itu sebagai sarana kuatnya negara, oleh karena itu jangan
mengabaikan rasa kebangsaanmu sendiri, agar memiliki bangsa yang berjiwa
kesatria.
Negara iku ora
guna lamun ora darbe anger-anger mingaka pikukuhing negara kang adhedhasar idi
kalbune manungsa salumhing negara kuwi.
Negara itu akan berguna kalau tidak mempunyai undang-undang yang
menjadi dasar kuatnya suatu negara, yang sersuai dengan isi jiwa seluruh bangsa
itu.
Para muda aja
ngungkurake kawruh kang nyata, amrih karya ungguling bangsa lan bisa gawe
raheyuning sasama.
Para pemuda jangan mengabaikan ilmu pengetahuan yang nyata,
agar negaranya menjadi masyur dan dapat
membuat keselamatan sesamanya.
Panguasa iku
kudu gawe teterem para kawulane, marga yen ora mengkono bisa dadi kawulane
ngrebut negara.
Penguasa itu harus membuat tenteram rakyatnya, kalau tidak dapat
terjadi rakyatnya akan merebut kekuasaan dalam negara.
Negara kuwat
iku amarga kawulane seneng urip lan disuyudi dening liyan negara.
Negara itu kuat kalau rakyatnya senang hidup dan dihormati oleh
negara lain.
Aja lali marang
kebecikaning.
Jangan lupa akan kebaikan orang lain.
Aja siras
deksura, ngaku luwih pinter tinimbang sejene.
Janganlah congkak, merasa lebih pandai dari yang lain.
Aja rumangsa
beer dhewe, jalaran ing ndonya iki ora ana sing bener dhewe.
Jangan merasa engkau yang paling benar, sebab didunia ini tidak ada
yang paling benar.
Aja tansah
gelaning liyan, iku perasasat gawe galaning awake dhewe.
Jangan selalu membuat kecewa orang lain, sebab membuat kecewa orang
lain itu akan membuat kecewa diri sendiri.
Aja gawe sirik
atining liyan.
Jangan menyakiti hati orang lain.
Aja golek
mungsuh.
Jangan mencari musuh.[4]
4.
Pandangan
Jawa Terhadap Dunia Usaha
Memang sulit untuk dibantah bahwa budaya jawa
khususnya di daerah yang sering disebut subkultur Nagaragung atau subkultur
budaya kraton yang kurang lebih meliputi kerja Pembantu Gubernur Surakarta dan
sekitarnya itu cenderung kurang menghargai dunia usaha atau perdagangan.
Berbisnis dalam arti berdagang atau usaha itu merupakan pantangan bagi nenek
moyang, orang dulu lebih suka melihat anaknya menjadi seorang pegawai negeri
atau jaman dulu lebih disebut “priyayi”. Anak remaja jaman dulu
sering dikekudang (didoakan dan diharapkan) oleh orang tuanya agar kelak
kalau sudah besar menjadi priyayi. Kekudangan seperti ini merupakan
dambaan setiap para orang tua jaman dahulu. Menjadi priyayi merupakan harapan
paling utama bagi orang Jawa pada masa itu. Posisi priyayi jelas dipandang
lebih terhormat ketimbang pedagang.
Seperti dalam kisah Andhe-andhe Lumut, dimana Nyi
Randha Tatali (ibu angkat Andhe-andhe Lumut) yang hanyalah orang kecil (wong
cilik) yang berharap terhadap anak angkatnya itu agar kelak dapat beristri
pedagang kaya, seperti pedagang emas atau pedagang beras misalnya. Sokur-sokur dapat beristri
anak priyayi. Suatu keberuntungan yang luar biasa bila yang terakhir itu
terjadi. Wajarlah kalu ia amat masgul melihat anaknya tampak tepesona dan jatuh
cinta terhada Klenting Kuning yang kumal seperti pengemis (dalam penyamarannya)
padahal Andhe-andhe Lumut baru saja menolak lamaran tiga putri cantik yaitu
Klenting Biru, Klenting Wungu, Klenting Dhadhu. Dari cerita singkat diatas
dapat digambarkan bahwa tentang adanya strata atau lapisan masyarakat Jawa,
yaitu wong cilik, bakul (pedagang) dan
priyayi. Seperti yang tampak dalam bait Dhandhang-gula di bawah ini:
Ya ya Nyi randha Tatali
nyawang putra kang esmu kasmaran
rongeh goreh sasolahe
batin tansah anjetung
dene boya bisa nocoki
rina wengi kinudang
derbe bojo bakul
wade emas dagang beras
sokur bage antuka anak priyayi
mulya sakulawarga
Terjemahannya:
Syahdan Nyi Randha Tatali
melihat anaknya yang jatuh cinta (kepada Klenting
Kuning yang menyamar bak pengemis)
rerlihat sikapnya yang tak tenang
hati (Nyi Randha) menjadi masgul
karena tidak setuju (terhadap sikap anaknya)
anak yang diharap siang malam
agar kelak beristri bakul (pedagang)
dagang emas ataupun
dagang beras
sokur-sokur beristri anak priyayi
yang membahagiakan seluruh keluarga.[5]
Selain dalam bait tembang
Dhandhang-gula tersebut Marbangun Hardjowirogo juga mengambil sampel masyarakat
Surakarta sebagai berikut:
Kalau hubungan perkawinan antara seorang ndoro
dengan seorang wong cilik dalam banyak hal bisa berjalan harmonis oleh karena
pihak dari wong cilik kalah atau mengalah, kurang bisa selaras hubungan
perkawinan antara seorang saudagar dengan seorang priyayi. Dimana seorang
priyayi biasanya membanggakan kedudukannya, misalnya sebagai penewu atau mantri
dan besar kecilnya memandang rendah terhadap saudagar yang menurut pendapatanya
biasanya hanya numpuk banda, menghimpun harta, sebabaliknya seorang saudagarpun
tahu, bahwa kebanyakan priyayi hanya ingin njagapraja, menjaga gengsi, biasanya
tak kaya, bahkan melarat, juga kurang bisa menghargai uang umumnya cuma sok,
selagi dalam kenyataan kosong kantongnya. Itulah sebabnya mungkin mengapa
seorang priyayi yang kawin dengan
seorang saudagar atau anak saudagar kaya, dikatakan bahwa dia golek bokong,
cari harta untuk bisa menegakkan status priyayinya yang banyak makan biaya.
Pandangan jawa yang merendahkan profesi dagang
atau bisnis itu antara lain bersumber pada Serat Wulangreh karya Sri
Paku Buwana IV, yang merupakan acuan etika yang cukup berpengaruh bagi masyarakat
Jawa sampai saat ini, disamping itu juga ada Wedhatama karya
Mangkunegaran IV. Selain kedua acuan moral yang penting ini ada juga Serat
Jayengbaya yang oleh beberapa pakar dianggap pendukung dunia usaha. Dan ada
satu acuan lagi yaitu, Serat
Pitutur Jati Mawi Sekar, acuan yang terakhir ini
memang kurang dikenal oleh masyarakat.
1)
Serat Wulangreh
Serat Wulangreh ini adalah acuan Jawa yang paling tegas
mengencam dunia usaha. Ada beberapa versi Serat Wulangreh. Versi yang paling
umum terdiri dari 13 pupuh, yaitu:
Dhandhang-gula (8 pada atau bait)
Kinanthi (16 bait)
Gambuh (17 bait)
Pangkur (17 bait)
Maskumambang (34 bait)
Megatruh atau Dudukwuluh (17 bait)
Durma (12 bait)
Wirangrong (27 bait)
Pucung (23 bait)
Mijil (26 bait)
Asmaradana (28 bait)
Sinom (33 bait)
Girisa (25 bait)
Dalam salah satu versi yaitu yang berjudul Wulangreh ( tanpa
kata Serat) yang memuat penjelasaan “Mturut babon asli kagungan – dalem Nyai
Adipati Sedhahmirah”, pupuh Wirangrong yang terdiri dari 27 bait itu digubah
kembali dalam pupuh Pucungyang terdiri dari 35 bait. Dengan demikian ada dua
pupuh pucung, yaitu pucung baru dengan 35 bait yang disusul Pucung lama yang
terdiri dari 27 bait tersebut.
Wirangrong:
Ana cacat agung malih
anglangkungi saking awon
apan sakawan iku kehipun
dhingin wong madati
pindho wong ngabotohan
kaping tiga wong durjana.
Kaping sakawane ugi
wong ati saudagar awon
mapan suka sugih watekipun
ing rina lan wengi
mung bathine den etang
alumuh lamun kalonga.
Iya umpamane ugi
dhuwe dhuwit pitung bagor
mapan nora marem ing tyasipun
ilanga sadhuwit
gegetun patang warsa
padha yen ilang saleksa.
Wong ati saudagar ugi
sabarang prakara tamboh
among yen ana wong teka ikuanggegawe ugi
geadhen pan tumranggal
ulate teka sumringah.
Terjemahannya:
Ada cacat besar lagi
sungguh melebihi buruk
jumlahnya ada empat
pertama orang madat
kedua orang berjudi
ketiga orang mencuri.
Adapun cacat keempat
orang berjiwa saudagar jelek
wataknya hanya ingin kaya
siang maupun malam
kerjanya menghitung laba
takut berkurang sedikitpun.
Demikian seandainya
Punya uang tujuh karung
itu pun belum puas
andaikan hilang sepeser
empat tahun menyesalnya
seperti hilang saleksa.
Orang berhati saudagar
enggan dalm berbuat baik
kecuali kalau ada yang datang
dengan barang bawaan
untuk digadai ia semangat
roman mukannya ceria.
Pucung:
Lawan ana cacad ingkang luwih agung
pan patang prakara
ingkang dhingin wong madati
pindho butuh ping telune wong durjana.
Kaping pate wong budi saudagar tamboh
sabarang prakara
mung mungkul saka lan sugih
rina wingi mung bathine kang den etang.
Lumuh kalung tur wus nyekel reyal satus
kalungo sareyal
gegetune sangang sasi
durung marem yen durung simpen salaksa.
Mung sakane yen ana dhedhayoh muncul
nggawa gadhen emas
anenembung utang dhuwit
sumaragal ulate teka sumringah.
Terjemahannya:
Dan adalah cacat yang amat besar
empatlah jumlahnya
yang pertama orang madat
dua judi ketiga itu pencuri.
Yang keempat orang barhati saudagar
segala urusan tak peduli
hanya ingin kaya dan senang sendiri
sing malam kerjanya menghitung laba.
Tak suka berkurang meski telah punya seratus reyal
andaikan hilang sereyal
empat bulan ia menyesal
belum puas bila belum punya seleksa.
Suka ria kalu muncul tamu khusus
bawa barang emas
merengek meminjam uang
sikap ramah mukanya terlihat cerah.
Kesimpulan yang dapat diambil dari Wulangreh diatas
adalah bahwa ia tidak menghargai ati saudagar atau jiwa dagang. Bahkan
memandangnya sebagai cacat; salah satu dari 4 cacat di samping judi, madat dan
mencuri. Tentu ini adalah termasuk titik lemah dalam budaya jawa yang dampak
negatifnya masih terasa sampai saat ini, terutama dilingkungan budaya
Nagaragung atau lingkungan budaya kejawen.[6]
2)
Wedhatama
Berbeda dengan Wulangreh, wedhatama tidak memuat kecaman
terhadap dunia usaha atau profesi dagang (saudagar). Seperti halnya Wulangreh,
wedhatama yang diakui umum sebagai karya Mangkunegara IV ini pun ada beberapa versi. Versi yang
terbagi dalam 5 pupuh, yaitu:
Pangkur (14 bait)
Sinom (18 bait)
Pucung (35 bait)
Kinanthi (18 bait)
Bagian yang agak jelas menyinggung masalah pencaharian
hidup terdapat pada pupuh Sinom, yaitu dalam 5 bait di bawah ini:
Nanging enak ngupo boga
rehne ta tinitah langip
apa ta suwiteng Nata
tani tanapi agrami
mangkono munggah mami
padunr wong dahat cubluk
durung weruh cara Arab
jawaku wae tan ngenting
paradane mulang putra.
Saking duk masih taruna
sadhela wwus anglakoni
aberag marang agama
maguru anggering kaji
sawadine tyas mami
banget wedine ing besuk
pranatan ngakir jaman
yan tutug kaselak ngabdi
nora kober sembahyang gya tinimbalan.
Marang ingkang asung pangan
yen kesuwen den dukani
abubrah bawur tyasingwang
lir kiyamat saben hari
bot Allah ape gusti
tambuh-tambuh solahingsun
lawas-lawas nggrahita
rehne ta suta priyayi
yen mamriha dadi kaum temah nistha.
Tuwin ketib suragama
pan isung nora winaris
angurbaya ngantepana
pranatan wajibing urip
lampahan angleluri
lluraning pra leluhur
kuna kumunanira
kongsi tumeking samangkin
kikisane tan lyan amung angupaboga.
Bonggan kang tan merlokena
mungguh ugering ngaurip
uripe lan tri perkara
wirya arta tri winasis
kalamun kongsi sepi
saka wilangan tetelu
telas tilasing jalma
temah papa papariman ngulandara.
Terjemahanya:
Lebih enak mencari nafkah
Karena kita makhluk lemah
Bisa mengabdi raja
Bisa tani atau berdagang
Demikian menurut saya
Dengan segala kebodohan saya
Belum bisa bahasa Arab
Bahasa Jawa pun tak sempurna
Namun terpaksa mendidik anak.
Karena pada waktu masih muda
Sudah menjalani sebentar
Rajin belajar agama
Berguru kepada haji
Sebenarnya karena hati saya
Amat takut keadaan kelak
Ketentuan di akhir jaman
Belum selesai (belajar agama) keburu mengabdi
Belum sempat sembahyang telah dipanggil
Dipanggil oleh yang memberi makan
Kalau terlambat kena marah
Hati bingung tak keruan
Bak kiamat tiap hari
Patuh pada Tuhan atau majikan
Sikapku serba tak menentu
Lama-lama terpikir
Karena saya anak priyayi
Kalau mengejar jadi modin tak pantas
Jadi khotib dan ulama
Aku tidak punya bakat
Mendingan menekuni
Kewajiban orang hidup
Menyimak dan mencontoh
Sejarah para leluhur
Dari jaman dahulu kala
Sampai jaman sekarang ini
Kesimpulannya tak lain dari mencari nafkah.
Bodoh yang mengabdikan ini
Adapun ugeran hidup
Bertumpu pada tiga hal
Kedudukan, kekayaan dan kepandaian
Jika semua tidak punya
Ketiga hal itu tidak ada
Hilang martabat kemanusiaan
Tak berharga sama sekali
Akhirnya jadi pengemis yang mengembara
Jadi dapat disimpulkan
bahwa dalam pandangan profesi dagang Wedhatama lebih maju daripada Wulangreh.
Wedhatama tidak memandang saudagar itu sebagai suatu profesi yang hina.
Sebaliknya, dengan menunjuk pada tiga penopang martabat manusia : Wirya
(kedudukan), harta (kekayaan) dan winasis (kepandaian), berarti dagang
dipandang sebagai profesi yang terhornat juga.
Akan
tetapi karena kedudukan Paku Buwana itu lebih tinggi daripada Mangkunegara,
maka dampak ajaran Wulangreh yang mengecam dunia usaha itu tetap terasa sampai
saat ini.[7]
3) Serat Jayengbaya
Serta jayengbaya disoroti karena dalam Simposium “ Perilaku
Bisnis”sedikitnya ada dua pembicara yang menyiggungya,yaitu Darmanto Jatman dan
Karkono K.Partokusumo.Lebih-lebih karena Darmanto Jatman hanya mengutip
sepotong kecil terjemahan yang menjujung atau menyanjung kaum pedagang tentu
akan menimbulkan salah paham tentang pedagang Serat Jayengbaya terhadap dunia
pedagang.
Ada dua naskah Serat Jayengbaya yang sempat dipelajari (menurut
L.Mardiwarsita sedikitnya ada 4 naskah ),yaitu Serat Jayengbaya Mardiwarsita
yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980)dan Serat
Jayengbaya huruf jawa yang diterbitkan oleh Uitgeverij en Boekhandel
Stoomdrukkerij ‘De Bliksem”Solo.1928.
Menurut kesimpulan dibuku yang berisi 250 bait tentang Asmaradana
ini tidak memberikan kesimpulan akhir bahwa yang paling baik atau pun paling
enak itu menjadi pedagang.Buku ini menceritakan khayalan Ki Jayengbaya tentang
berbagai pekerjaan atau kedudukan atau pun pengalaman,yaitu sebagai berikut :
a)
blantik jaran (pedagang kuda)
b)
niyaga (penabuh gamelan)
c)
penari topeng
d)
dhalang wayang purwa
e)
penjudi(botoh)
f)
penjual (candu)
g)
penjahit (graji)
h)
congkok (mak comblang)
i)
pokrul
j)
pencuri
k)
jaksa
l)
pegawai/pembantu belanda
m)
batur tlendhek (pembantu tandak )
n)
orang gila
Dan sebagainya,seluruhnya ada 47 pekerjaan atau keadaan yang
dikhayalkan oleh Ki Jayengbaya .Sampai-sampai ia menghayalkan suka dukaya
menjadi algojo (singanagara),menjadipengemis,menjadi anjing ,menjadi orang yang
disambar petir dan bahkan menjadi tuhan.Tidak ada pilihan yang dikhayalkannya
itu yang enak mutlak.
Seluruh pilihan yang dijumlah 47 macam (sesungguhnya 48,karena
pilihan no.17 sebenarnya berisi dua pilihan )diuraikan atau dikhayalkan dengan
cara yang sama.Semua dikhayalkan sebagai yang paling didambakan dengan segala
keenakannya.Kemudian terbayanglah segi-segi tidak enaknya sehinga akhirnya
ditolak dengan tegas dan tetaplah ia pada keadaannya smula sebagai pilihan
akhir.
Pesan Ronggowarsita yang dapat ditangkap melalui Serat Jayengbaya
ini adalah bahwa setiap keadaan,setiap profesi dan setiap alternatif dalam
hidup ini selalu mempunyai segi-seginya yang baik dan yang buruk,yang enak dan
yang tidak enak,yang positif dan yang negatif.Tidak ada yang mutlak.Oleh
karenanya ,jalani saya hidup ini dengan apa adanya! Itulah pesan Jayengbaya.[8]
4) Serat
Pitutur Jati
Menurut penulis pustaka jawa
yang menghargai profesi dagang adalah Serat Pitutur Jati (SPT).Bahkan SPT
dengan tegas meletakkan profesi degang itu diatas priyayi.Keutamaan pekerjaan
menurut SPT berturut-turut adalah:
a)
Dagang
b)
Priyayi
c)
Petani
d)
Kemasan
(tukang mas),greji(penjahit),pandhe(tukang besi),undagi(tukang kayu),bakulan(
pedagang kelontong),candhak-kulak(menjualakn barang orang lain).
Naskah ini jelas
sekali bersumber dari ajaran islam dan hanya sedikit saja warna ajaran kejawen i dalamnya.ini adalah wjar
naskah ini bukan gubahan pujagga Surakarta atau penulis lain dari wilayah
negaragung,melainkan dari lapisan yang diluarnya,yaitu daerah kediri yang dalam
sistem trimandala praja termaksuk mandala (daerah) mancanegara.Hal ini terlhat dari keterangan pada sampul buku yang
menyatakan bahwa:
Babon asli
saking sewargi Kanjeng Pangeran Harya Purbanegara
Bupati Wadana
Mancanagara Kediri.Serat punika amitedahaken patra tindakipun manungsa gesang
wonten ing ndunya, miturut dhawuh wawarahipun Kanjeng Nabi Muhammad,Kanjeng
Susuhan Bonang ,tuwin Sri Bathara Wisnu dhateng para sakabatipun.
(sumber asli dari mendiang
Kanjeng Pangeran Harya Purbanagara,Bupati Wadana Mancanagara Kediri.Buku
ini menjelaskan sikap dan cara orang hidup menurut ajaran Nabi Muhammad,Sunan
Bonang dan Bathara Wisnu kepada para sahabatnya ).
Bahwa orang
hidupitu harus bekerja mencari nafkah dan bahwa berdagang lebih dihargai
ketimbang priyayi,ini jelas terbukti dari enam bat tembang Kinanthi sebagai
berikut:
(1) Manungsa urip puniku
Wajib padha angupadi
Sandhang pangan asarana
Nambut sabarang prakerti
Karya iku rupa-rupa
Endi ingkang den senengi
(2) Sagaduging budipun
Miwah kacanggahaning ati
Winawrat kuwating badan
Kasar alusing pakarti
Yen wes kaconggah den gita
Nanggapi karya kang becik
(3) pakaryan dunya puniku
Akathah tur warni-warni
Dhinging anggota dagang
Kading ing wong ngatas –angin
Turki mesir bahdad ngarab
Kathah bangon lampah grami
(4) karna nabi panutup
Muhammad rasulullahi
Saderengira diwasa
Asring kang salampah grami
Dhateng ing nagari ngesam
Sinudarsana ing dasih
(5) nggaota dagang puniku
Kinarya unggul pribadi
Yen panuju tindakira
Antuk rahmating hyang wedhi
Babathene ewon leksan
Enggal dadya sugih singgih
(6) ingkang kaping kalihipun
Anggayuh drajad priyayi
Asuwita ng narendra
Miwah kumpeni walandi
Asuwita liyanira
Sakaconggahe kang dhiri
Terjemahan:
(1) orang hidup itu
Wajib selalu berupaya
Mencari sandang- pangan(nafkah)
Dengan bekrja apa saja
Yang macam-macam jenisnya
Pilih yang disenangi masing-masing
(2) sesuai dengan kemampuan
Dan kecocokan hati
Diukur kekuatan jasmani
Dilihat haus-kasarnya
Kalau sudah terasa cocok
Segera dilaksanakan
(3) pekerjaan didunia itu
Banyak dan beraneka ragam
Yang pertama adalah berdagang
Seperti orang luar negeri
Turki,mesir,bahdad,arabia
Banyak yang gemar berdagang
(4) karena nabi penutup
Muhammad rosulullah
Sebelum mengginjak dewasa
Pun sudah sering berdagang
Melewati kenegeri ngesam
Dipuji semua orang
(5) bekerja sebagai pedagang itu
Adalah yang paling utama
Kalau lagi untung dibadan
Dan mendapat rahmad tuhan
Puuhan ribu untungnya
Cepat karya dan makmur
(6) tingkat kedua adalah
Mencoba ajdi priyayi
Mengabdi raja
Atau menggabdi belanda
Juga menggabdi lainnya
Sesuai keadaan masing-masng
Meskipu naskah (bertulisan jawa ) ni
dicetak disurakarta,yaitu oleh Penerbit N.V.Budi Utama tahun 1918, tetapi jelas bahasanya tidak sebaik
karya-karya pujangga Surakarta.Dan isinya pun hanya sedikit sekali berbau
kejawen.Tetapi pandagannya tentang dunia bisnis jauh lebih maju dari pada
Wulangreh.[9]
5)
Serat
Darmalaksita
“Manungsa apa kajate, sinembadan sakayun, yen dumunung mring wolung
warni, ingaran Asta Gina, panggautan gelaring pambudi, warna-warna sakacung
gahira, nut ing jaman kalakone, regen ping kalihipun,dadi pamring marang
pakolih, katri geni garapnya, margane mrih cukup, ping pat nastiti pamriksa,
iku dadi margane weruh ing pasti, lima wruh ing petungan. Watek adoh mring
butuh sehari, kaping nenem taberi tatanya, ngundhakken marang kawruhe, ping
pitu nyegah kayun, pepinginan kang tanpa kardi, tan boros marang arta, sugih
watekipun, ping wolu nemen ing sejo, watekira sarwa gelis ingkang kinapti, yen
bisa kang mangkana”
Terjemahanya:
“Apa yang dihajatkan manusia bakal terpenuhi apabila dia menepatkan
diri dalam delapan macam yang disebut Asta Gina. Pertama membudidayakan
terbukanya lapangan usaha, yang bermacam-macam bentuknya dan usahakan sekuat
tenaga, dengan mengikuti gerak laku jamanya (sesuai dengan perkembangan jaman).
Kedua Rigen (padai mencari akal) agar supaya memperoleh hasil yang diinginkan.
Ketiga Gemi (hemat dan cermat) dalam menggarap dan mengelolanya, hingga dapat
mencukupi keperluan. Keempat Nastiti (cukup hati dan teliti) dalam mengamati
dan memeriksa sesuatu hingga ia dapat diketahui secara pasti. Kelima
perhitungan (cara menghitung sesuatu orang yang tau perhitungan biasa tak
terdesak kebutuhan yang mendadak sehari-hari. Keenam Tabri (rajin) bertanya
untuk menambah ilmu pengetahuan. Ketujuh menahan kehendak hawa nafsu dari
berbagai keinginan yang tak berfaedah dan tidak memboroskan uang yang semuanya
itu membawa kecukupan. Kedelapan bertekat bulat (bersungguh-sungguh) dalam
kehendak, watak demikian itu cepat mencapai hasil apa yang diinginkan. Oleh
karena itu, jika dapat dilakukanlah yang demikian itu”.[10]
B.
Ekonomi
jawa dari masa ke masa
1. Sejarah Perdagangan Orang Jawa
Karena faktor-faktor obyektif daerah pesisir rupanya selalu lebih
maju perdagangannya ketimbang daerah perdalaman. Hal ini adalah wajar mengigat
sulitnya perhubungan daerah perdalaman pada waktu itu.Oleh karena itu orang
jawa dan orang indonesia pada umumnya yang pernah terkenal sebagai
pelaut-pelaut ulung dan pedagang yang tangguh itu akhirnya menjadi amat lemah
dibidang kelautan dan perdagangan karena berpindahnya pusat kekuasaan
kepedalaman.Di samping itu,beberapa faktor lain juga ikut menyebabkannya.
Uraian yang cukup
lengkap mengenai hal ini antara lain telah dikemukakan oleh Burge dalam bukunya
Perubahan-perubahan struktur dalam
masyarakat jawa (1977).Oleh kareana itu jelanya perkenankanlah saya sajikan
kutipan dari uraian Burger tersebut,meskipun barang kali terasa terlalu
panjang.Pendapat burger tersebut antara lain adalah sepanjang berikut :
Adapun pusat peradaban jawa sekitar tahun 1800 ialah
karajaan-kerajaan Jawa Tengah yang teradisinya mulai dengan kerajaan Mtaram
yang timbul pada akhir abad ke-16.Peradaban Jawa Tengah ini didahului oleh
zaman peradaban Jawa Timur , yang paling luas menyebarkan selama kerajaan
Majapahit .Msa keagungan kerajaan ini ialah pada abad ke-14 berdasarkan
pertanian,yang berupa rumah tangga pedesaan tertutup yang mencangkupi
kebutuhannya sendiri,dengan berkewajiban menyerahkan hasil bumi dan memberi
jasa-jasa .Akan tetapi di samping itu Majapahit mempunyai perdagangan laut dan
pelayaran laut,yang dibarengi dengan adanya kekuatan di
lautan.Kerajaan-kerajaan Jawa Timur sebelum Majapahit meluaskan sampai ke
bagian-bagian besar disebelah Timur kepulauan Indonesia.Majapahit menguasai
lautan dan daerah pesisir yang eliputi wilayah yang luasnya kira-kira boleh
disamakan dengan luasnya Indonesia sekarang. Selanjutnya Majapahit mengenal
kebudayaan kraton,ang berkat hubungan –hubungan dengan seberang lautan sampai
Selat Malaka dan Hindia Belakang ,terbuka bagi pengaruh-pengaruh dari luar.
Perdagangan laut
bangsa jawa ini sudah amat tua . Perdagangan itu sebagian dari perdagangan Asia
yang lama yang telah diceritakan oleh B,Schrieke dan Van Leur.Perdagangan laut
itu kegiatannya sepanjang pantai Asia Timur dan Asia Selatan dan membawa
hasil-hasil Asia ke Bart ,sehingga mencapai kebenua eropa melalui teluk Persia
dan Lautan Merah.Rempah-rempah indonesia sudah terkenal di Eropa abad-abad
pertama terikh kita.Seluruh perdagangan in terutama terdiri dari barang yang
mahal-mahal tetapi keci volumenya ,pendeknya dari barang mewah .Sudah sejak
abad ke 11,bahkan lebih dahulu lagi,ada berita tentang pelayaran jawa yang
waktu itu dilancarkan lewat tuban ,dan juga yang kemudian terutama dipegang
oleh pelabuhan-pelabuhan Jwa Timur.Seperti juga pedagangan Asia kuno yang
lain,perdagangan jawa pun dijalankan oleh perdagangan –perdagangan ang
mengiringi barang dagangnya:Van Leur menamakan mereka ‘perdagangan-perdagangan
kelontong”akan tetapi dari gambarannya ternyata bahwa mereka tidak boleh dikira
dari pedagang-pedagang yang terlalu kecil.Diatas golongan ini,menurut Van Leur
, terdapan ‘koopheren”(tuan-tuan dagang),yaitu pedagangan-pedaganga besar dan
pelepas uang,sering pula tokoh-tokoh pemerintahan yang tidak pergi perdaganagan
sendiri,tetapi menyuruh orang lain berdagang jauh.Pengaruh dari raja-raja, dari
penguasa-penguasa setempat dan dari kaum bangsawan atas perdagangan ini besar
sekali.Perdagangan Jwa tersebut dua cabangnya:pertama-tama,ada perdagangan
lintas barng dari Timur ke Brat dan sebaliknya di dalam wilayah peraiaran
Indonesia.Kedua,ada ekspor beras dari Jawa ke maluku dan pelabuhan-pelabuhan
sepanjang selat Makasar,kemudian juga ke Betawi. Dalam abad ke 17 Jawa dinamakn
Lumbung Indonesia.
Majapahit menjadi
lemah dalam abad ke-15 dan tak lama sesudah tahun 1500 lenyap hampir tidak
ketahuan.Perdabaannya diteruskan oleh kerajaan-kerajaan pelabuhan dipantai
utara ,”pesisir”,yang menjadi besar dalam abad-abad ke-15 dan ke-16.Pada
permulaan abad ke-16. Demikian yang memegang kekuasaan tertinggi .Dalam abad
ini titik berat lebih berpindah ke negara-negara pesisir kecil yang letaknya
lebih ketimur,diantaranya terutama Surabaya maju ke depan.Peradaban pesisir
initetap terarah ke dunia internasional.
Bagian Selatan
Jawa Tengah, di man karajaan Mataram mulai naik,hanya sedikit atau sama sekali
tidak ikut dalam perkembangan tersebut.Daerah ini selama ini lebih ketinggalan
dan lenih bersifat pandalaman.Menurut pigeaud,daerah ini sekitar tahun 1600”Lebih perkasa dan kasar,kasar udik”kalau
dibandingkan dengan Jawa Timur dan daerah Pesisr.Tentang hubungan langsung
antara daerah Bagian Selatan Jawa Tengah ini dan Majapahit ,menurut pigeaud,tak
ada buktinya dan tidak besar kemungkinannya.Bagian
Selatan Jawa Tengah ini dari sudut ketatanegaraan juga kurang baik
organisasinya. Sampai dalam abad ke-16 di daerah ini terdapat “sejumlah besar
daerah pertuanan kecil-kecil dan karajaan terutama kecil-kecil”ang sesudah
percobaa kerajan pajang yang gagal,baru di bawah Mataram pada akhir abad ke-16
dilebur menjadi satu negar yang lebih besar.Mataram yang masih muda ini
berusaha menguasai seluruh Jawa,tidak diakui negara-negara pesisir,lalu
memasakan pengakuan itu dengan kekuatan senjata dalam sederetan perang yang
kebanyakan berlangsung dalam perempat abad ke-17.Dalam masa ini kota-kota
pesisir kadang-kadang berulang kali
dikepung dan dirusak.Demak pada tahun
1604.Lasem dan Pasuruan pada tahun 1616 Tuban pada tahun 1619,Gresik
pada tahun 1613 dan 1622,Madura pada tahun
1624 dan Surabaya pada tahun
1625.Surabaya beberapa kali dikepung dan akhirnya jatuh karena aliran air minum diputuskan,akal mana dipakai pula dalam tahun
1946 oleh kaum ekstremis yang mengharapkan akan menundukkan kota itu dengan
cara demkian .Keadaan perang yang terus-menerus ini pangaruhya merusak
perdagangan .Sesudah penaklukan dan pembiasaan daerah-daerah pesisir ,para
pedagang kebanyakan mengungsi ke Makasar dan Banjarmasin .Dengan demikian
perang menyebabkan matinya perdagangan lintasan di Jawa dan sekalian menjadi
sebab kemajuan Makasar yang sudah itu mengalami zaman emasnya.
Selain dari
itu,perdaganga beras di Jawa ke daerah seberang mati ebagai akibat politik Mataram. Ada memang berita dari tahun 1641dan
1656, bahwa raja Mataram telah melarang kaulanya melakukan perdagangan laut. Sunan
menggambil perdagangan laut negeri untuk drinya sendiri ,tak seorang pun dari
kaulanya dibolehkan mendapat keuntungan dari perdagangan itu . Monopoli raja
ditetapkan atas beras.Orang partikelir yang mengekspor beras akan dihukum mati.
Yang dapat kita tarik dari kutipan tersebut adalah bahwa lemahnya
semangat dagang pada kebanyakan orang Jawa sekarang ini bukanlah suatu ciri
wanci yang tak dapat diperbaiki .Kita pasti bisa merubahnya asal mau mencoba.[11]
2.
Sejarah
Perdagangan Jawa Masa Pendudukan Hindia-Belanda
PADA TAHUN 1830 dimulailah masa
penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah jawa. Untuk pertama kalinya, pihak
belanda mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini, dan tidak ada
satupun tantangan yang serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad XX. Perang
jawa merupakan investasi tenaga manusia dan dana mereka yang besar, dan
terakhir dalam pertarungan memperebutkan hegemoni. Andaikan ada keuntungan yang
bisa didapatkan dari keterlibatan VOC di jawa tengah dan jawa timur, selama
lebih dari dua abad itu tak seorang pun berhasil memperolehnya terkecuali untuk
keuntungan oknum – oknum yang telah mendapatkan kekayaan pribadi secara korup.
Hanya perkebunan –perkebunan kopi di priangan (jawa barat) yang merupakan usaha
–usaha yang selalub mendatangkan keuntungan. Akan tetapi, di jawa tengah dan
jawa timur, keuntungan –keuntungan yang berhasil diperoleh dari sana telah
habis untuk biaya militer dan administrasi.
Selama Perang Jawa berlangsung, pihak
belanda memikirkan berbagai rencana untuk jawa.semuanya mempunyai sasaran umum
yang sama,yaitu bagaimana memperoleh hasil daerah tropis dalam jumlah dan harga
yang tepat sehingga akan memberikan keuntungan, suatu sasaran yang telah menjadi
fokus pemikiran orang –orang belanda sejak keberangkatan pelayaran mereka yang
pertama pada tahun 1595. Pada tahun 1829, johannes van den bosch ( 1780 – 1844
) menyampaikan kepada raja belanda usulan – usulan yang kelak disebut
cultuurstelsel (sistem tanam paksa )raja menyetujui usulan –usulan tersebut, dan pada bulan januari 1830, van
den bosch tiba di jawa sebagai gubernur jenderal yang baru (1830 – 3).
Pemikiran van den bosch mengenai
cultuurstelsel tersebut tidak pernah dirumuskan secara eksplisit,tetapi
tampaknya sistem itu didasarkan pada suatu prinsip umum yang
sederhana.desa-desa jawa berutang pajak
tanah ( land rent ) kepada pemerintah, yang biasanya di perhitungkan sebesar
40% dari hasil panen utama desa itu ( biasanya beras ) . dalam kenyataannya,
taksiran yang sesungguhnya sering dibawah angka ini dan pemungutan pajak
tersebut ( sebagian besar dibayar dalam uang tunai ) sering kali sulit
dilaksanakan karena tidak memadainya administrasi dan adanya kekurangan mata
uang. Rencana van den bosch ialah bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian
tanahnya guna ditanami komoditas ekspor ( khususnya kopi, tebu, dan nila )
untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan.
Dengan begitu, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya, dan van den bosch
memperkirakan bahwa 20% (kelak 33%) dari hasil panen desa tersebut akan cukup
memadai untuk tujuan ini.
Delam teori, setiap pihak akan memperoleh
keuntungan dari sistem ini. Desa masih memiliki tanah yang lebih luas untuk
kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai.
Sebagai pengganti pendapatan yang tidak pasti dari pajak tanah, pemerintah akan
mendapatkan komoditas daerah tropis yang begitu murahnya sehingga, menurut
perkiraan van den bosch, masih dapat bersaing dengan gula Hindia Barat di
pasaran dunia yang dihasilkan oleh tenaga budak. Dalam praktik, tidak pernah
ada “sistem” sama sekali.[12]
Bagi rakyat Jawa yang paling miskin,
yaitu buruh-buruh yang tak punya tanah, kesempatan baru untuk menjadi buruh upahan
mungkin berarti kesempatan memperbaiki secara berarti kondisi material mereka.
Kaum tani Jawa tampak sudah cukup mobil di masa ini. Sejumlah besar dari mereka
berpindah jauh untuk menghindari beban-beban atau untuk mencari pekerjaan.
Bentuk-bentuk perlawanan lain juga terlihat, seperti sabotase,
tindakan-tindakan kekerasan perseorangan, dan demonstrasi-demonstrasi protes
secara bersama.
Sebuah kelompok baru dan penting muncul
di masyarakat Jawa pada abad XIX. Kelompok ini dibesarkan oleh kesempatan atas
upah buruh dan kewirausahaan yang berkembang selama masa cultuurstelsel dan
liberal yang mengikutinya. Tak bisa dipungkiri bahwa kerja paksa merupakan
jantung dari cultuurstelsel, sementara banyak kegiatan yang tidak dikelola
seperti itu: pembuatan tembikar dan karung goni, produksi tekstil, tukang
bangunan, hiburan, peleburan besi, pengolahan hasil tani, transportasi darat,
pembuatan kapal dan perdagangan yang terkait dengannya, bahkan sebagian panen
tebu, terbuka untuk upah buruh dan pengusaha lokal. Dari kegiatan-kegiatan ini
mulai bermunculan pribumi kelas menengah.
Telah ditunjukkan bahwa Jawa mampu
menghasilkan surplus yang banyak, setidak-tidaknya secara paksa. Akan tetapi,
surplus ini digunakan untuk menopang pemerintahan penjajahan belanda di Jawa,
upaya-upaya penaklukannya di daerah-daerah luar jawa, dan perekonomian dalam
negeri Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga kerja orang jawa dan Sunda,
sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional.
Pihak Belanda berhasil memeras perekonian Jawa, sambil mengembalikan
keuntungan-keuntungan yang berarti hanya kepada sekelompok kecil masyarakat
pribumi.
Pada tahun 1860, seorang mantan pejabat
kolonial, Eduard Douwes Dekker (1820-1887), menerbitkan sebuah novel berjudul
Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli. Buku ini mengungkapkan dengan
sangat pas keadaan pemerintahan kolonial yang lazim dan korup di Jawa. Buku ini
menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam menentang rezim penjajahan abad XIX di
jawa. Akan tetapi, kaum liberal menghadapi suatu dilema: mereka ingin
dibebaskan dari cultuurstelsel, tetapi tidak dari keuntungan-keuntungan yang
diperoleh Belanda di Jawa.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
harapan-harapan para pembaharu liberal gagal terwujud bila yang dijadikan ukuran
adalah anggapan mereka bahwa pengaturan ekonomi baru dapat menguntungkan rakyat
pribumi dan sekaligus melanjutkan penyerapan surplus pertanian Jawa untuk
keuntungan ekonomi negeri belanda dan para pedagang swasta.
Pada tahun 1880-an terjadi krisis besar
yang memengaruhi rakyat pribumi Jawa maupun orang-orang yang berhasil
mengeksploitasi mereka. Dari tahun 1870-an, penyakit daun kopi mulai menyebar
dan produksi kopi pun jatuh. Lebih penting lagi, pada tahun 1882 hama gula
menghantam Cirebon. Dari sana hama ini kemudian menyebar ke timur menyeberangi
Pulau Jawa dan mencapai ujung timurnya pada tahun 1892. Industri gula Jawa
kemudian terpukul lebih jauh ketika gula bit membanjiri pasar Eropa. Pada tahun
1884, harga gula terpuruk. Karena gula mendominasi perekonomian Jawa, maka
krisis tersebut berdampak luas.
Laporan van Deventer tahun 1904
memperkirakan bahwa rata-rata keluarga di Jawa harus membayar kepada pemerintah
sebesar 23% dari penghasilan tunainya dan 20% dari keseluruhan penghasilannya
(uang dan barang). Untuk dapat membayar
pajak dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan lainnya, para petani harus berpaling
kepada para lintah darat, di antaranya yang mencolok adalah para haji lokal.
Para haji lokal secara hukum adalah “penduduk pribumi” sehingga dapat memiliki
tanah. Penyitaan tanah yang mereka lakukan membuat orang yang tidak mempunyai
tanah semakin banyak. Orang-orang Cina, yang termasuk golongan “orang-orang
Timur Asing”, tidak dapat memiliki tanah sehingga harus bekerja melalui para
penghubung pribumi, tetapi mereka mempunyai posisi yang kuat karena memiliki
rumah-rumah gadai dan sekaligus tempat-tempat mencandu. Hak menjual candu oleh
pemerintah dihapuskan secara bertahap mulai tahun 1894, dan akhirnya digantikan
oleh Administrasi Candu negara di seluruh
Jawa pada awal tahun 1904. Pegadaian dihapuskan secara bertahap tidak lama
sesudah itu. Akan tetapi, orang-orang Arablah yang merupakan lintah darat
paling serakah di antara yang lain. [13]
Di antara semua istana kerajaan,
Mangkunegaranlah yang paling berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan baru
pada masa kekuasaan Belanda. Landasan dari kegiatan ekonomi ini diletakkan oleh
Mangkunegara IV (1835-1881). Dia memperkerjakan orang-orang Eropa untuk
memperkenalkan teknik-teknik Eropa dalam pengelolaan dan eksploitasi negara,
tetapi dengan perbedaan yang penting bahwa keuntungan-keuntungannya ditanamkan
kembali di daerah kekuasaannya daripada dikirim ke luar negeri. Dua kali, di
tahun 1857 dan 1877, Mangkunegara IV gagal mendapat kembali perkebunan-perkebunan
yang sudah disewakan kepada pengusaha-pengusaha Eropa. Akan tetapi, dia
berhasil sedikit demi sedikit mengganti sistem apanage bagi para abdi dalem dan
pejabatnya dengan sistem gaji. Walaupun penduduk pedesaan menanggung beban yang
berat, namun terjadinya perpindahan penduduk ke daerah-daerah kekuasaannya
menunjukkan bahwa beban tersebut lebih ringan jika dibandingkan dengan di
beberapa daerah lainnya. Akan tetapi, Mangkunegara IV telah menciptakan suatu
perekonomian “terbelakang” yang khas, yang penghasilannya tergantung pada harga
pasaran dunia untuk beberapa jenis komoditas. Sesudah masa pemerintahannya,
Mangkunegaran, sebagaimana juga daerah-daerah lain di Jawa, mengalami krisis
keuangan yang hebatnya akibat gula bit di Eropa. Keadaan ini menyebabkan Residen
Surakarta melakukan pengawasan langsung terhadap keuangan Mangkunegaran dari
tahun 1888 sampai tahun 1899. Selama masa itu, keuangan Mangkunegaran dapat
dipulihkan kembali.
Karena elite kerajaan dan birokrasi Jawa
begitu terikat kepada pemerintah kolonial berpusat di daerah-daerah perkotaan,
atau berkurang peranan politiknya, maka protes-protes petani pedesaan hanya
menemukan sedikit pimpinan. Protes-protes sering meletus, pertama mulai tahun
1870-an dan seterusnya. Memang, protes-protes tersebut maupun
pemberontakan-pemberontakan kecil-kecilan seringkali ditujukan khususnya
terhadap pemerintahan pribumi, dan juga terhadap orang Cina atau para pejabat
dan pengusaha Eropa. Para petani mencari ilham dalam gagasan-gagasan yang
sifatnya mesianistis, baik dalam Islam maupun dalam ajaran asli Jawa.
Kepemimpinan yang mereka dapat seringkali berasal dari para pemimpin Islam
pedesaan. Akan tetapi, tak satupun dari gerakan-gerakan ini benar-benar
mengancam kekuasaan kolonial. Kekecewaan rakyat mengakar secara mendalam pada
akhir abad XIX, tetapi tanpa pimpinan atau koordinasi yang efektif.
Islam di Jawa mengalami perubahan sangat
besar. Islam kejawen yang terbentuk pada akhir abad XVIII sufisme dengan tiga
ciri khas: identitas Islam yang kuat, ketaan menyeluruh pada lima rukun Islam,
dn penerimaan atas kekuatan supernatural Jawa mendapat tantangan dari dua arah
utama. Pertama, pergerakan baru reformasi Islam yang menyebar dari Timur
Tengah. Di Indonesia, pergerakan ini pertama kali dilakukan oleh Kaum Padri di Sumatra Barat.
Kedua, bentuk pembaharuan yang diwakili oleh kolonialisme Belanda dan peradaban
Eropa yang iondustrial dan berkemajuan abad XIX. Islam kejawen memang tidak
ditinggalkan seluruhnya, tetapi tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya
ekspresi keberagaman di antara orang Jawa.
Pemerintahan Daendels
Tujuannya mengamankan Pulau Jawa dari
serangan Inggris.
Kebijakan pemerintahan Daendels dalam
bidang ekonomi antara lain :
1. Membentuk dewan pengurus
keuangan (Algemene Rekenkaer)
Berfungsi sebagai Pengadilan Audit yang bertugas memantau pengeluaran
dari Belanda.
2. Pajak in Natura
(Contingenten)
3. Preanger Stelsel
Berupa wajib menanam kopi di daerah Priangan.
Pemerintahan Raffles
Diawali dengan adanya Kapitulasi Tuntang.
Kebijakan pemerintahan Raffles dalam bidang ekonomi antara lain :
1. Sistem Sewa Tanah
(Landrente)
2. Penghapusan pajak bumi
(Contingenten)
Pemerintahan Van den Bosch
Tujuannya untuk mengisi kekosongan kas yang digunakan untuk biaya perang.
Kebijakan pemerintahan Van den Bosch dalam bidang ekonomi antara lain :
1. Aturan Tanam Paksa
2. Tanah untuk menanam
tanaman wajib dikenai pajak
Akibat adanya sistem liberal :
Bagi Belanda :
1. Memberikan keuntungan
besar bagi kaum swasta dan pemerintah Belanda
2. Hasil-hasil produksi
perkebunan dan pertambangan mengalami kemajuan
3. Negeri Belanda menjadi
pusat perdagangan
Bagi Indonesia :
1. Kemerosotan kesejahteraan
penduduk
2. Adanya krisis perkebunan
3. Penderitaan karena rodi
Politik Etis
Politik Etis berakar pada masalah
kemanusiaan dan sekaligus pada keuntungan ekonomi. Kecaman-kecaman terhadap
pemerintahan bangsa Belanda yang dilontarkan dalam novel Max Havelaar dan dalam
berbagai pengungkapan lainnya mulai membuahkan hasil. Semakin banyak suara
Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang
tertindas.
Ekonomi Jawa abad XX
Tahun 1880-1930, nilai ekspor kopi Jawa
menurun hampir 70%, pada tahun 1930, ekspor kopi daerah-daerah luar Jawa
menjadi dua kali lipat dari nilai ekspor kopi di Jawa, nilai ekspor karetnya
hampir dua kali lipat dari nilai ekspor karet Jawa, dan nilai ekspor tembakau
hampir empat kali lipat daripada nilai ekspor tembakau Jawa, di antara
komoditas-komoditas ekpor yang penting, Jawa mengungguli non-Jawa pada
komoditas teh dan gula; yang disebut hampir sepenuhnya merupakan produksi Jawa.
Nilai ekspor gula dari Jawa mencapai puncak pada tahun 1920, tetapi merosot 75%
pada dasawarsa berikutnya karena semakin rendahnya harga. Ekspor teh Jawa
semakin meningkat nilainya, tetapi pada tahun 1930 hanya mencapai separuh dari
nilai ekspor karet daerah-daerah luar Jawa. Ekspor ubi kayu hampir seluruhnya
berasal dari Jawa, tetapi nilainya hanya sekitar seperdelapan dari ekspor karet
pulau-pulau luar Jawa. Pada tahun 1925, 99% (nilai) ekspor minyak bumi berasal
dari daerah-daerah luar Jawa.tahun 1930, komoditas-komoditas ekspor yang
penting (ubi kayu, kopi, kopra, karet, gula, teh, tembakau, timah, dan minyak
bumi) mencapai jumlah sekitar 930,5 juta gulden, 55,3% di antaranya berasal
dari daerah-daerah luar Jawa. Jawa menghasilkan 44,7%, tetapi lebih dari 60%
nya berupa ekspor gula, sehingga Jawa (terutama Jawa Timur) menjadi salah satu
penghasil gula yang terbesar di dunia. Turunnya harga gula dan kebutuhan untuk
menggunakan lahan tebu bagi penanaman padi untuk kepentingan penduduk Jawa yang
semakin bertambah banyak jumlahnya juga mengancam komoditas ekspor yang penting
ini.[14]
Inilah praktik pelaksanaan politik Etis, ketika langkah-langkah kesejahteraan
mulai dijalankan di Jawa, maka
orang-orang Sunda dan Jawa menyadari bahwa dana dan tenaga kerja diminta
dari mereka untuk membiayai
program-program baru tersebut. Ketika kondisi keuangan kolonial terancam
setelah Perang Dunia I, maka pajak yang dikenakan kepada orang Indonesia
mengalami kenaikan yang sangat besar, yang menunjukkan bahwa kesejahteraan
kurang penting daripada anggaran yang seimbang.
Perbedaan antara Jawa dan Luar Jawa yang
berakar pada masa lalu terlihat mencolok. Daerah-daerah luar Jawa mempunyai
ikatan dengan Islam yang lebih mendalam, kegiatan kewiraswastaan yang lebih
besar dengan Islam lebih besar, komoditas-komoditas ekspor yang lebih berharga,
dan investasi asing yang lebih besar. Selain itu, kawasan ini lebih belakangan
ditaklukan oleh Belanda dan tekanan jumlah penduduknya kurang padat. Jawa,
sebaliknya, merupakan kawasan yang pengislamannya kurang mendalam, yang
kegiatan kewiraswastaannya kurang besar, yang nilainya sebagai sumber komoditas
ekspor merosot, yang pertumbuhan ekonomi barunya tidak pesat, yang menghadapi
campur tangan penjajah lebih lama dan lebih mendasar, serta yang jumlah
penduduknya padat.
Pertumbuhan penduduk Jawa mempunyai
kaitan yang mendasar dengan tingkat kesejahteraannya yang rendah, tetapi pihak
Belanda tidak mempunyai kebijakan yang dapat memecahkan masalah tersebut.
Memang, sulit untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan. Kecuali beberapa
eksperimen terbatas dan gagal dalam pembaharuan agraria, satu-satunya jawaban
yang diberikan Belanda adalah emigrasi dari Jawa ke luar Jawa, suatu kebijakan
yang masih terus dilanjutkan setelah kemerdekaan Indonesia dengan nama
“transmigrasi”.[15]
3.
Sejarah
Perdagangan Jawa Pasca Kemerdekaan sampai Reformasi
Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa struktur perekonomian Indonesia masih
dominan di Pulau Jawa dan Sumatera. Hal ini dikatakan Kepala BPS, Suryamin,
pada Senin 6 Mei 2013. Provinsi di Pulau Jawa masih memberikan kontribusi
terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) yaitu 57,79%, diikuti kolompok
Sumatera sebesar 23,99%. Sementara itu, provinsi-provinsi yang memberikan
sumbangan terbesar di Pulau Jawa adalah DKI Jakarta sebesar 16,46%, Jawa Timur
14,98%, Jawa Barat 13,88%, dan Jawa Tengan sebesar 8,39%.[16]
C.
HUBUNGAN
PEREKONOMIAN JAWA DENGAN NILAI-NILAI ISLAM
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari
mengambil riba maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang
larangan, dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali mengambil
riba maka orang itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 275)
Hubungan
No comments:
Post a Comment